Exposenews.id – Jagat maya, khususnya di platform Thread, baru-baru ini heboh oleh sebuah usulan yang menyalakan perdebatan sengit. Topik panas yang memicu pro dan kontra itu adalah syarat menjadi pejabat publik, terutama untuk calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Seorang pengguna dengan akun @i*em********r_****y secara blak-blakan menulis pada Minggu (24/8/2025), “Ayo kita gencarkan suara! Pejabat publik harusnya wajib minimal bergelar S2, lulus tes kompetensi dasar (TKD), dan punya skor TOEFL minimal 500. Kemampuan public speaking juga harus bagus.”
Usulan ini langsung membelah opini netizen menjadi dua kubu. Di satu sisi, banyak yang bersorak setuju. Akun @a**z, misalnya, dengan semangat menambahkan, “SAYA DUKUNG! Bahkan harus pakai tes TOA juga. Ditambah, calon harus lulus S1 atau S2 dari tiga universitas terbaik di Indonesia. Kita juga perlu memboikot artis-artis yang pendidikannya tidak jelas tetapi nekat ingin jadi staf ahli.” Di sisi lain, tidak sedikit yang menolak dengan keras. Akun @_j*r berargumen, “Ini jelas-jelas diskriminasi! Tidak semua orang harus melalui jalan pendidikan formal untuk bisa berkontribusi. Lihat saja ASN (Aparatur Sipil Negara), apakah semuanya kompeten hanya karena berijazah?”
Lalu, bagaimana tanggapan para ahli yang mendalami dunia politik? Apakah syarat bergelar magister dan kemampuan bahasa Inggris dengan skor TOEFL 500 memang relevan untuk calon wakil rakyat? Selanjutnya, Nur Hidayat Sardini, seorang pengamat politik ternama dari Universitas Diponegoro, segera memberikan perspektifnya yang cukup mengejutkan. Menurutnya, dalam sebuah sistem demokrasi, elemen paling fundamental yang harus dimiliki seorang pejabat publik adalah representativeness atau keterwakilan.
Dia kemudian memaparkan dengan detail bahwa representativitas dapat kita artikan sebagai tingkat keterwakilan yang memadai; ini merupakan bagian penting dari pelaksanaan asas perwakilan. “Prinsipnya, keterwakilan politik memang memerlukan beberapa syarat minimal. Syarat pertama tentu saja ijazah, lalu disusul oleh persyaratan-persyaratan tertentu lainnya yang wajib dipenuhi,” jelas Nur Hidayat Sardini saat diwawancarai pada Selasa (26/8/2025). Namun, dia memberikan penekanan bahwa semua syarat minimal itu hanya berfungsi sebagai ‘tiket’ untuk sekadar mendaftar.
Sementara itu, hal yang jauh lebih penting adalah pembuktian secara simbolis bahwa seseorang memang layak dan pantas untuk menjadi wakil politik. “Jadi, syarat dasar itu penting, tetapi yang terpenting justru implementasi dari keterwakilan tadi. Dan untuk mewujudkan keterwakilan politik, kita membutuhkan syarat yang sangat berbeda,” tegas Nur. “Oleh karena itu, menurut analisis saya, syarat anggota DPR minimal bergelar S2 dan skor TOEFL 500 sama sekali tidak relevan dalam konteks keterwakilan politik. Sebab, syarat-syarat itu tidak mengadopsi prinsip-prinsip umum yang menyangkut esensi keterwakilan politik,” tambahnya dengan lugas.
Untuk memperkuat argumennya, Nur Hidayat Sardini memberikan sebuah contoh konkret yang sangat terkenal dari panggung politik internasional. Dia mengingatkan kita semua pada Ronald Reagan, Presiden ke-40 Amerika Serikat, yang sukses membawa negaranya menikmati kemajuan ekonomi yang sangat gemilang. Padahal, Reagan tidak memiliki latar belakang akademis yang dianggap ‘mumpuni’ oleh banyak kalangan. Meski demikian, dia juga memberikan catatan penting bahwa syarat minimal kecerdasan tertentu tetaplah dibutuhkan untuk membuktikan kelayakan seorang pejabat negara.
“Kita harus membedakan antara anggota DPR dan seorang profesional karier. Untuk yang terakhir, syarat minimal seperti ijazah dan TOEFL memang harus lebih ketat. Namun, bagi perwakilan politik, hal itu tidaklah terlalu penting. Jangan sampai kita justru menghalangi calon-calon wakil rakyat yang potensial hanya karena terbelenggu oleh persyaratan yang kaku,” paparnya dengan gamblang.
Selanjutnya, Nur Hidayat Sardini beralih kepada persoalan lain yang tak kalah pelik: pentingnya kapasitas dari para pemilih. Dia lalu menjabarkan fenomena maraknya artis atau publik figur yang akhirnya duduk di kursi wakil rakyat, meski sering dianggap tidak merepresentasikan suara publik secara utuh. “Dalam menyikapi hal ini, kita harus menunjuk dua pihak yang bertanggung jawab. Pertama, tentu saja partai politik yang mengusungnya. Kedua, dan ini yang utama, adalah para pemilihnya. Sebenarnya, seperti apa sih kapasitas pemilih kita?” tutur Nur.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa dalam proses pemilihan anggota dewan, kita sangat membutuhkan pemilih yang efektif. Pemilih yang efektif adalah mereka yang mampu menghubungkan dan menautkan antara kapasitas pribadi calon wakil rakyat dengan lembaga serta masyarakat yang akan diwakilinya. “Masalah ini menjadi semakin parah terutama karena dua hal. Penyebab pertama adalah kapasitas pemilih itu sendiri, dan yang kedua adalah partai politik yang jarang mengimplementasikan konsep rekrutmen yang baik dan benar,” ungkapnya tanpa tedeng aling-aling.
Sebagai penutup, Nur Hidayat Sardini menegaskan bahwa untuk menjadi wakil rakyat yang ideal, seorang pejabat publik mutlak harus memiliki kapasitas dan integritas yang tinggi. Kapasitas dapat kita lihat dari cara dia menyerap dan menjaring aspirasi masyarakat di lembaga eksekutif maupun legislatif, lalu mengubahnya menjadi kebijakan yang memajukan masyarakat. Sementara itu, integritas sangat tercermin dari hal-hal seperti kejujuran akademis; misalnya, tidak menggunakan ijazah palsu. Menurutnya, pejabat yang ketahuan menggunakan ijazah palsu harus segera mengundurkan diri melalui mekanisme yang resmi.
Akhirnya, dia menyoroti sebuah kejadian yang viral dimana beberapa anggota DPR terlihat berjoget dalam sidang resmi MPR. Nur Hidayat Sardini mengimbau bahwa justru para pemilihlah yang memiliki kekuatan untuk mengoreksi perilaku tidak semestinya itu. “Pemilih bisa meminta pertanggungjawaban dengan cara yang sangat tegas: yaitu dengan tidak memilih kembali wakil tersebut di pemilu berikutnya. Pada intinya, pemilih juga harus punya ‘stamina’ dan kesadaran untuk melakukan koreksi. Sayangnya, di Indonesia, mekanisme seperti ini masih tercampur aduk dan belum berjalan optimal,” pungkasnya menutup pembahasan.
Dapatkan juga berita teknologi terbaru hanya di newtechclub.com