Exposenews.id – Fawwaz Farhan Farabi butuh nyali besar untuk menggugat UU Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mahasiswa FHUI ini mengaku mendapat tekanan saat menyusun gugatan. “Kami benar-benar merasakan tekanan,” ujarnya usai sidang di MK, Jakarta, 1 Juli 2025.
Kehadiran Kolonel yang Bikin Waswas
Fawwaz masih ingat betul saat Komandan Distrik Militer (Dandim) 0508/Depok, Kolonel Imam Widhiarto, tiba-tiba muncul di acara konsolidasi mahasiswa di UI, 16 April 2025. Tanpa undangan, Imam tiba-tiba datang mengenakan seragam dinas, sementara puluhan mahasiswa tengah serius membahas UU TNI yang baru saja DPR sahkan.
Meski diskusi tidak dibubarkan, kehadiran Imam membuat suasana mencekam. Apalagi, dua hari sebelumnya, hal serupa terjadi di UIN Wali Songo Semarang. Orang tak dikenal bersama Babinsa mendatangi paksa diskusi ‘Fasisme Mengancam Kampus’.
Tekanan hingga ke Keluarga
Tekanan tidak berhenti di situ. Seorang Babinsa bahkan mendatangi rumah ibu Fawwaz dan menanyakan alamatnya. “Di medsos, saya juga dituduh antek asing dan terlalu idealis,” ungkapnya.
TNI membantah keras tuduhan intimidasi. Mayjen Kristomei Sianturi, Kepala Penerangan Mabes TNI, menantang pemohon untuk menyebut nama oknum jika memang ada pelanggaran. “Kami tidak akan melindungi anggota yang bertindak tanpa perintah,” tegasnya.
Gugatan yang Tak Gentar
Tekanan itu tak menggoyahkan tekad Fawwaz dan kawan-kawan. Bersama Muhammad Bagir Shadr dan Thariq Qudsi Al Fahd (juga mahasiswa FHUI), mereka mengajukan gugatan bernomor 56/PUU-XXIII/2025.
Mereka menilai UU TNI cacat formil karena:
-
Melanggar asas pembentukan UU yang baik (Pasal 5 UU P3).
-
Tidak ada partisipasi publik bermakna.
-
Proses carry over RUU dianggap tidak sah.
-
Pelanggaran tata tertib DPR dalam perubahan Prolegnas.
UU Kontroversial yang Picu Belasan Gugatan
UU TNI memantik penolakan sejak awal karena sejumlah perubahan kontroversial, seperti:
-
Kedudukan koordinasi TNI.
-
Penambahan operasi militer selain perang.
-
Jabatan sipil yang bisa diisi TNI aktif.
-
Pensiun diperpanjang.
Akibatnya, begitu DPR sahkan UU ini pada 20 Maret 2025, masyarakat langsung membombardir MK dengan 11 gugatan sekaligus—sebuah rekor sejarah! Hakim Konstitusi Saldi Isra pun mengaku ini pertama kalinya satu UU harus berhadapan dengan belasan gugatan.
Dari 11 gugatan:
-
5 ditolak MK.
-
1 dicabut pemohon.
-
5 masih berjalan, termasuk gugatan Fawwaz cs.
DPR & Pemerintah Kompak Lawan Gugatan
Dalam sidang 23 Juni 2025, DPR dan pemerintah meminta MK menolak semua gugatan. Mereka beralasan para pemohon tidak memiliki legal standing karena statusnya bukan prajurit TNI maupun pegawai sipil yang terdampak langsung. “Mereka cuma mahasiswa dan karyawan swasta,” cetus Ketua Komisi I DPR Utut Adianto.
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas juga membantah klaim “partisipasi publik minim”. Menurutnya, pemerintah sudah menggelar FGD dan rapat sejak 2023. “Tidak ada yang tergesa-gesa,” tegasnya.
Ahli Hukum Bongkar Kekeliruan DPR
Dosen HTN Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menyalahkan argumen DPR. Dalam uji formil, tidak perlu ada dampak langsung pada pemohon. “Ini pembacaan sempit hukum acara MK,” kritiknya.
Peneliti Celios, Muhamad Saleh, menambahkan, MK punya preseden jelas. Contohnya gugatan presidential threshold oleh mahasiswa atau UU Cipta Kerja oleh ormas. “MK selalu lihat substansi kerugian konstitusional, bukan status pemohon,” jelasnya.
DPR Bersikukuh: Gugatan Salah Sasaran!
Utut Adianto tetap bersikukuh. Menurutnya, isu dwifungsi TNI seharusnya masuk uji materi, bukan formil. “Ini error in objecto,” sanggahnya. Soal naskah akademik, DPR juga mengklaim tidak melanggar aturan.
Pertarungan masih berlanjut. Sidang saksi dan ahli dari pemohon masih berjalan. Sementara publik menunggu, akankah MK berpihak pada mahasiswa atau legitimasi DPR?
Satu hal pasti: gugatan ini telah membuka kotak Pandora tentang demokrasi dan peran TNI.
Baca Juga: Raja Ampat Melawan: Izin Tambang Sah tapi Tak Diterima, Ini Masalahnya!