Akademisi Fispol Unsrat dan sekaligus pengamat politik Sulut, Ferry Daud Liando |
Catatan Ferry Daud Liando
Exposenews.id, Manado – Presiden Joko Widodo telah meminta aparatnya mempelajari kondisi lapangan untuk mempersiapkan tatanan normal yang baru (New Normal) di tengah pandemi COVID-19. New normal adalah langkah percepatan penanganan COVID-19 dalam berbagai bidang seperti kesehatan, sosial, dan ekonomi.
Indonesia sepertinya terpkasa mengikuti model yang dilakukan negara lain di dunia, sebab Lembaga Biologi Molekuler atau LBM Eijkman waktu lalu sempat menyatakan, virus corona tidak akan hilang dari muka bumi dalam waktu yang lama. Organisasi kesehatan dunia WHO juga telah menyiapkan pedoman transisi menuju new normal selama pandemi COVID-19.
Dengan demikan jika New normal berlaku maka akan terjadi suatu kondisi baru di mana interaksi fisik tidak dapat dilakukan. Ada pola baru yang membedakan dengan pola lama. Tentu membutuhkan adaptasi panjang agar benar-benar masyarakat patuh atas anjuran Pemerintah.
Tak semua negara mampu menerapkan kondisi ini. Apalagi di negara-negara yang rakyatnya tidak bisa dikekang akibat hak dan kebebasan individu, tentu mengaturnya sangatlah sulit.
Di Indonesia, penerapan kondisi semacam ini tentu membutuhkan proses panjang dan tidak gampang. Bukan soal faktor ketaatan atau kepatuhan masyarakat, namun karena tidak sinkronnya kebijakan satu Institusi Pemerintahan dengan Institusi lainnya.
Pada 27 Mei 2020, Pemerintah, Penyelenggara dan DPR telah menyepakati bahwa tahapan Pilkada akan dimulai pada 15 Juni 2020. Tentu memutus mata rantai penyebaran virus dengan cara membatasi interaksi akan sangat sulit terwujud.
Ada sejumlah tahapan Pilkada yang amat sulit menghindari dari saling interaksi terutama antara penyelenggara dengan masyarakat ataupun penyelenggara dengan institusi terkait lainnya.
Seperti pendataan daftar pemilih, verifikasi faktual dukungan calon perseorangan, klarifikasi dokumen bakal calon ke institusi lain seperti keabsahan ijazah, maupun peradilan tentang sengketa pengesahan calon.
Belum lagi dengan tahapan kampanye, ditribusi logistik, distribusi undangan memilih, berkumpulnya pemilih dalam satu TPS, penghitungan dan rekapitulasi suara hingga sengketa hasil di Mahkamah Konstitusi.
Bisa saja memanfaatkan sarana teknologi untuk memudahkan, namun tidak semua daerah memiliki aksesibilitas jaringan internet dan listrik yang memadai. Kemudian para petugas tidak banyak dibekali dengan kemampuan teknologi.
Untuk mengawal kualitas proses, diperlukan pengawasan secara ketat. Pengalaman Pilkada sebelumnya membuktikan bahwa masih banyak bagian-bagian yang perlu dibenahi agar pelaku kejahatan serupa di Pilkada tidak memiliki kesempatan yang sama.
Pilkada sebelumnya harus diakui masih terjadi dalam kondisi abnormal. Pada tahap pencalonan masih banyak indikasi terjadi jual beli antara partai politik (parpol) dengan bakal calon (candidate buying). Syarat dukungan awal bagi calon perseorangan kerap dimanipulasi. Suara masyarakat diperoleh dengan cara membayar (vote buying).
Melaksanakan Pilkada dalam kondisi New Normal tentu membutuhkan tantangan baru. Apakah tahapan Pilkada akan menjadi lebih baik ataukah akan lebih terpuruk. Baik penyelenggara, pengawas, lembaga peradilan pemilu dan penegak hukum memiliki ruang gerak yang terbatas karena kondisi belum bersahabat.
Kita pun tidak perlu menuntut banyak dari mereka, sebab mereka juga memiliki hak untuk hidup sehat. Maka dapat diduga bahwa jika Pilkada dapat digelar di dalam suasana penyebaran virus, maka jangan berharap jika Pilkada dapat berproses dengan baik sehingga sangat wajar jika produk Pilkada tidak sesuai yang diharapkan. (RTG)