Daerah  

Apakah Benar Fakir Miskin dan Anak-anak Terlantar Dipelihara oleh Negara?

Oleh: Wisnu Ardianto

Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Malang

Exposenews.id, Malang – Akhir-akhir ini, Indonesia mengalami berbagai macam permasalahan bangsa. Seperti kemiskinan, Virus Corona, Omnibuslaw, dan permasalahan lainya. Kita sepakat bahwa di Negara Indonesia segala sesuatu telah diatur oleh Undang-Undang Dasar (UUD 1945).

UUD 1945 merupakan landasan konstitusional bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. UUD 1945 juga sebagai dasar hukum tertinggi dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam menjamin hak konstitusional warga negara.

Dalam UUD 1945 Pasal 34 ayat 1 menyatakan bahwa “fakir miskin dan anak terlantar di pelihara oleh Negara”. Mengacu pada pasal tersebut tanpa disadari negara meletakkan beban kepada dirinya sendiri berupa kewajiban untuk menanggung sebagian penderitaan masyarakat miskin, dalam hal ini atas dirinya sendiri maupun kegagalan pemerintah dalam mensejahterakan masyarakatnya.

Melalui kewajiban tersebut, maka negara melalui praktiknya, memerlukan banyak program dalam mengentaskan kemiskinan, dan program tersebut justru bersifat fregmentaris atau sementara dan hasilnya seperti obat hanya menyembuhkan gejala saja tapi bukan penyakitnya. Hal inilah yang membuat masyarakat tetap miskin dan mirisnya lagi seolah-olah ini menjadi ketergantungan masyarakat secara berlebihan kepada bantuan pemerintah yang bersifat instan tersebut.

Bukti kurang berjalannya pasal 34 ayat 1 ini bisa kita jumpai di lapangan. Salah satunya, yang kasat mata adalah masih banyak anak-anak mengamen, mengemis di lampu merah dan tidur di depan emperan kios beralaskan kardus. Yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang memelihara mereka di tengah kekayaan berlimpah negara ini? Apakah Negara/Pemerintah tidak melihat hal tersebut?

Baiklah mungkin kita lupa atas itu. Mari kita melihat di sisi lain, maraknya kasus korupsi, para mafia pajak, para pembajak keringat rakyat, para penghisap kekayaan negara dan kejahatan eksekutif lainya justru masih bisa tersenyum melihat indahnya hidup seakan-akan tidak ada salah dengan jabatanya. Melesetnya target, terutama dalam angka kemiskinan bukan suatu hal bisa ditoleran pasalnya baik program, badan serta anggaran dalam penanggulangan kemiskinan terus menerus diberi oleh negara. 

Anak terlantar identik dengan kemiskinan, kemiskinan memanglah sebuah permasalahan yang sifatnya paradoksal. Pada sisi lain, kemiskinan seolah-olah menjadi modal sosial bagi para politisi ataupun para pengkritik kebijakan pemerintah, dalam menjual gagasan politik atau idenya dalam menyerang pemerintah.

Dengan alasan membela kaum miskin, mereka berusaha agar mendapat perhatian dan keuntungan lebih dari masyarakat hingga mengantarkannya menjadi anggota legislatif. Dan setelah menjabat mereka lupa dengan kaum miskin, mereka lebih mementingkan otoritas dan elitis sehingga menjauhkan mereka dari unsur yang dulu dijadikan legitimasi perjuanganya.

Seperti itulah yang terjadi, habis kepentingan mereka dilupakan. Kemiskinan adalah masalah kompleks dan bukan hanya persoalan ekonomi saja melainkan merembet pada permasalahan kemanusian lain dan meyentuh pada permasalahan secara holistik.

Maka dari itu kebijakan pemerintah dengan hanya meberikan bantuan langsung tunai (BLT) sebagai hasil pengalihan isu BBM terbukti tidak memberikan dampak yang signifikan dalam pengetasan kemiskinan

Mengacu pada pasal tersebut, seharusnya tidak ada lagi rakyat Indonesia yang di taraf hidup kurang layak ataupun berada di garis kemiskinan. Dan kalaupun masih ada, maka negara melalui pemerintahannya harus berkewajiban mencukupi kebutuhan dasar bagi fakir miskin dan anak-anak terlantar yaitu kebutuhan yang layak bagi kemanusian.

Dalam mewujudkan tanggung jawab tersebut, harus diperlukan sebuah kebijakan yang bertaraf nasional yang berpihak kepada fakir miskin dan anak-anak terlantar secara terencana, terpimpin dan berkelanjutan.