Berita  

Viral Isu Darurat Militer, Ini Kata Tegas Wakil Panglima TNI!

Wakil Panglima TNI Tandyo Budi Revita menjawab soal aksi penjarahan

Exposenews.id – Wakil Panglima TNI, Jenderal TNI Tendyo Budi Revita, secara tegas membantah keras semua rumor yang menyebar mengenai adanya skenario terselubung menuju darurat militer. Beliau menegaskan bahwa isu yang beredar seiring maraknya aksi unjuk rasa belakangan ini sama sekali tidak berdasar. Bahkan, saat berbincang dengan para jurnalis di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Senin (1/9/2025), Tandyo dengan jelas menyatakan, “Sangat salah besar jika ada anggapan seperti itu, dan hal itu sangat jauh dari kenyataan yang sebenarnya kita lakukan.”

Komitmen TNI pada Konstitusi dan Soliditas Internal

Selanjutnya, Tandyo dengan penuh keyakinan menjabarkan kondisi solid dan kompak di lingkungan Markas Besar (Mabes) TNI, termasuk di dalamnya Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU). Tak hanya itu, pihaknya pun berkomitmen penuh untuk selalu taat dan patuh pada segala ketentuan yang telah tercantum dalam konstitusi negara. Artinya, TNI hanya akan bergerak memberikan bantuan kepada operasi institusi lain, seperti kepolisian, jika memang ada dasar regulasi yang jelas dan disertai dengan permintaan resmi.

Arahan Langsung dari Presiden Prabowo

Sebagai konteks, Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, sebelumnya telah memanggil secara khusus Panglima TNI dan Kapolri pada tanggal 30 Agustus lalu. Dalam pertemuan penting itu, Presiden langsung memberikan arahan strategis agar kedua institusi terdepan ini bahu-membahu menangani gelombang unjuk rasa yang sudah meluas ke berbagai penjuru daerah. “Kami taat konstitusi. Pemberian bantuan kepada institusi lain tentu kami lakukan berdasarkan regulasi dan permintaan yang ada pada saat itu,” jelas Tandyo kembali menegaskan.

TNI Tidak Berniat Ambil Alih Peran Polri

Lebih lanjut, perwira tinggi TNI AD ini kembali menekankan sebuah poin krusial: sama sekali tidak ada niatan atau keinginan dari pihak militernya untuk mengambil alih kendali penuh atas keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas). Alasannya sangat jelas, karena sesuai dengan prosedur tetap, penanganan unjuk rasa merupakan tanggung jawab utama Polri yang harus diselesaikan terlebih dahulu. “Harus dipahami bahwa yang berada di garis depan adalah Polri. Polri yang menangani dulu. Jika kondisinya sudah membutuhkan, barulah kami bersatu dengan Polri. Kami tidak berniat mengambil alih,” tegasnya dengan sangat gamblang.

Isu Merajalela di Media Sosial

Sementara itu, isu dan kehebohan mengenai skenario menuju darurat militer ternyata telah menyebar begitu luas dan masif di berbagai platform media sosial. Bahkan, topik panas ini sempat menjadi trending topic di media sosial X (sebelumnya Twitter), yang langsung mamacu banyak perdebatan dan kekhawatiran publik. Akibatnya, sejumlah organisasi masyarakat bahkan menyerukan agar massa menarik diri dari garis depan unjuk rasa karena khawatir situasi justru akan dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk mengarah pada darurat militer.

Analisis dari Pengamat: Pola Aksi Terlatih

Sebagai contoh, Hendardi, Ketua Setara Institute, memberikan pernyataan resminya yang cukup mengejutkan. Ia menduga kuat bahwa aksi-aksi anarkis yang terjadi di berbagai lokasi, serta target-target yang dipilih, menunjukkan pola yang hanya mungkin dilakukan oleh orang-orang yang terlatih dan terorganisir. “Aksi anarkis yang terjadi pada malam hari, dini hari, dan terarah adalah pola yang jelas hanya bisa digerakkan oleh orang-orang terlatih. Kerumunan massa anarkis hanyalah fakta permukaan saja,” ujar Hendardi dengan nada prihatin.

Mengulik Aturan Darurat Militer dalam Perppu

Lalu, bagaimana sebenarnya aturan tentang darurat militer itu? Secara hukum, ketentuannya ternyata telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959. Tepatnya pada Pasal 1, diatur syarat-syarat kondisi yang memungkinkan presiden selaku panglima tertinggi angkatan perang menetapkan status darurat sipil, darurat militer, atau keadaan perang di seluruh atau sebagian wilayah Indonesia. Status tersebut dapat ditetapkan apabila keamanan atau ketertiban hukum terancam oleh pemberontakan, kerusuhan, atau bencana alam, “sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa.”

Kronologi Unjuk Rasa yang Berawal dari Penolakan Tunjangan

Perlu diketahui, unjuk rasa besar-besaran ini awalnya dipicu oleh penolakan masyarakat terhadap kebijakan kenaikan tunjangan anggota DPR RI yang dimulai pada 25 Agustus lalu. Kemudian, aksi kembali bergulir dengan massa lebih besar pada 28 Agustus, yang justru menjadi hari kelam karena seorang driver ojek online (ojol), Affan Kurniawan, meninggal dunia setelah tragis dilindas oleh mobil Brimob. Peristiwa memilikan ini langsung menyulut amarah publik, khususnya di kalangan driver ojol, dan menjadi bahan bakar utama meluasnya demonstrasi ke berbagai daerah.

Demonstrasi Meluas dan Berujung Kerusuhan

Akhirnya, unjuk rasa tak terbendung lagi dan meluas dengan cepat ke berbagai kota besar dan daerah. Mulai dari Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Solo, Tegal, Cilacap, Makassar, dan banyak lainnya. Aksi masif ini seringkali diwarnai dengan bentrokan fisik antara massa dan aparat keamanan. Tak hanya itu, sejumlah fasilitas umum seperti halte bus dan beberapa kantor kepolisian menjadi sasaran amuk massa dan akhirnya dibakar. Puncak dari tragedi ini terjadi pada Sabtu (30/8/2025), dimana Kantor Gubernur Jawa Timur di Surabaya juga ikut menjadi korban dan ludes dibakar.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa penegasan dari Wakil Panglima TNI ini sekaligus menjadi jawaban resmi atas segala kekhawatiran dan spekulasi yang beredar di masyarakat. Pada intinya, TNI berkomitmen untuk tetap berada di koridor konstitusi dan siap mendukung Polri sesuai dengan aturan yang berlaku, tanpa ada maksud terselubung untuk mengambil alih peran utama dalam penanganan kamtibmas.

Dapatkan juga berita teknologi terbaru hanya di newtechclub.com