Exposenews.id – Aksi solidaritas yang berlangsung di Markas Polda DIY, 29 Agustus 2025, sama sekali bukan sekadar unjuk rasa biasa. Massa pengemudi ojek online (ojol) justru turun ke jalan bersama para mahasiswa, lalu mereka bersama-sama mengusung tuntutan keadilan bagi Affan Kurniawan, rekan mereka yang tewas setelah tertabrak kendaraan taktis Brimob. Di tengah gegap gempita tuntutan, sebuah foto tragicomic tiba-tiba mencuat dan viral di media sosial; foto itu memperlihatkan selongsong gas air mata yang bertuliskan sangat jelas “Use Before: March 2022”. Unggahan dari akun investigasi warga, Merapi Uncover di Instagram, langsung memicu gelombang kekhawatiran yang luas. Aparat keamanan ternyata menggunakan amunisi kimia yang telah kedaluwarsa lebih dari tiga tahun untuk membubarkan warga yang sedang berduka dan menyampaikan protes.
Gas yang Kedaluwarsa Tidak Lagi Sama: Dari Non-Lethal jadi Mematikan!
Pada dasarnya, gas air mata berbahan aktif CS (orthochlorobenzylidene malononitrile) sebelumnya sering dijuluki sebagai “senjata non-mematikan” karena cara kerjanya yang memaksa orang mundur melalui rasa nyeri, bukan melalui luka yang fatal. Iritasi mata, batuk tak terkendali, hingga penglihatan yang kabur merupakan efek yang memang diharapkan dari senjata ini. Akan tetapi, begitu melewati masa simpan yang ditetapkan, gas ini justru berubah sifat secara drastis. Produk yang sudah kedaluwarsa dapat terurai dengan tidak stabil, lalu menghasilkan senyawa degradasi yang jauh lebih beracun dan berbahaya.
Olajos & Stopford (2004, Journal of Applied Toxicology) telah mencatat adanya risiko pembentukan zat beracun seperti chlorobenzyl cyanide yang pada akhirnya dapat memperparah kerusakan jaringan paru-paru dan bahkan memicu edema paru akut. Pada kelompok rentan seperti penderita asma, anak-anak, dan ibu hamil, paparan gas yang sudah expired ini bisa menjadi ancaman yang sangat mematikan. Selain itu, laporan medis dari beberapa negara juga menunjukkan bahwa paparan berulang dapat menyebabkan bronkitis kronis, kerusakan kornea permanen, hingga gangguan reproduksi.
Seperti yang telah ditekankan oleh WHO (2018), gas air mata seharusnya diperlakukan sebagai bahan kimia berbahaya, bukan sebagai instrumen rutin untuk pengendalian massa. Dengan kata lain, ketika aparat menembakkan gas yang sudah kedaluwarsa, sebutan “non lethal” pun langsung kehilangan relevansinya sama sekali.
Belajar dari Kanjuruhan: Reformasi yang Hanya di Permukaan!
Indonesia seharusnya sudah belajar dari tragedi Kanjuruhan 2022 yang memilukan, ketika gas air mata di stadion tertutup menelan 135 korban jiwa. Peristiwa tragis itu akhirnya memaksa Polri untuk menerapkan pembatasan yang lebih ketat dalam penggunaan gas air mata. Namun, temuan canister yang kedaluwarsa di Yogyakarta ini justru membuktikan bahwa reformasi tersebut hanya menyentuh permukaan saja, tanpa menyelesaikan akar persoalan yang sesungguhnya seperti manajemen inventori yang buruk dan lemahnya akuntabilitas aparat.
UU No. 2/2002 tentang Kepolisian dan Prinsip Dasar PBB tentang Penggunaan Kekuatan sebenarnya sudah menegaskan bahwa alat yang digunakan aparat harus legal, proporsional, dan aman. Gas air mata kedaluwarsa jelas-jelas melanggar semua kaidah tersebut. Ilegal secara etik, tidak proporsional dalam hal risiko paparan, dan sama sekali tidak aman untuk keselamatan publik.
Kelalaian yang Tak Bisa Dimaklumi: Rakyat Bukan Prioritas?
Publik sangat layak bertanya, bagaimana mungkin amunisi yang sudah kedaluwarsa masih tersimpan di gudang, dan yang lebih parah lagi, masih digunakan? Di mana sistem audit yang seharusnya berjalan, prosedur pemusnahan yang jelas, pengawasan internal yang ketat, dan akuntabilitas yang seharusnya melekat pada institusi yang modern dan demokratis? Dengan anggaran negara yang sangat besar untuk belanja alat keamanan, kelalaian seperti ini hanya menunjukkan satu hal: bahwa keselamatan rakyat tidak ditempatkan sebagai prioritas utama.
Peristiwa di Polda DIY ini harus menjadi alarm keras bagi pemerintah dan institusi penegak hukum. Negara wajib segera melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh stok amunisi non-mematikan yang dimiliki. Semua batch yang sudah expired harus segera dimusnahkan, bukan disimpan lalu ditembakkan secara sembarangan. Selain itu, aparat juga harus dilatih ulang; gas air mata bukanlah insting pertama yang boleh digunakan, melainkan opsi terakhir setelah semua jalur dialog ditempuh dan gagal.
Lebih dari itu, publik berhak atas transparansi yang penuh. Masyarakat berhak tahu berapa banyak gas yang ditembakkan, apa nomor batch-nya, dan kapan masa simpannya berakhir. Di era keterbukaan informasi seperti sekarang, data semacam ini bukanlah rahasia institusi, melainkan bagian dari hak warga untuk hidup aman.
Demokrasi tidak boleh dibubarkan dengan senjata usang yang sudah melewati masa layak pakainya. Ketika aparat menggunakan gas kedaluwarsa, yang sebenarnya kedaluwarsa bukan hanya pelurunya, melainkan juga tata kelola keamanan dan komitmen negara dalam melindungi warganya.
Dapatkan juga berita teknologi terbaru hanya di newtechclub.com