Konflik PLTA Kerinci Memanas, Nilai dan Mekanisme Ganti Rugi Rp5 Miliar Dipertanyakan

Konflik PLTA Kerinci

JAMBI, Exposenews.id – Masyarakat Desa Pulau Pandan dan Desa Karang Pandan di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi, secara tegas menolak pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang kini dikelola oleh PT Kerinci Merangin Hidro. Selanjutnya, penolakan keras ini terutama disebabkan oleh kejanggalan dalam proses ganti rugi yang masyarakat nilai sangat tidak transparan dan merugikan.

Penolakan Warga Kerinci Terhadap PLTA

Salah seorang warga Desa Pulau Pandan mengungkapkan secara detail dampak negatif yang telah masyarakat rasakan sejak pihak perusahaan melakukan penutupan permanen terhadap Sungai Tanjung Merindu. “Sungai Tanjung Merindu yang jadi sumber kehidupan kami kini mengering secara perlahan. Akibatnya, sawah-sawah warga yang mengandalkan alirannya ikut kering dan para nelayan pun tidak bisa lagi mencari ikan untuk menafkahi keluarga,” ungkapnya dengan nada prihatin melalui sambungan telepon pada Kamis (21/8/2025).

Tak hanya berhenti di situ, warga tersebut menegaskan dengan sangat bahwa kompensasi atas hilangnya mata pencaharian ini merupakan hal mutlak. “Intinya, ini bukan sekadar persoalan uang semata, tetapi ini tentang keberlangsungan hidup anak dan cucu kami di masa depan,” tegasnya lagi. Di sisi lain, ia menambahkan bahwa Sungai Tanjung Merindu bukanlah sekadar aliran air biasa, melainkan warisan leluhur yang telah menjadi sumber penghidupan turun-temurun bagi seluruh warga.

Sebelumnya, tepat sebelum proyek pembangunan PLTA ini dimulai, seluruh warga telah mengadakan musyawarah dan sepakat bahwa setiap negosiasi mengenai ganti rugi haruslah dihadiri dan disetujui oleh perwakilan yang mereka sebut sebagai Orang Empat Jenis, yang terdiri dari Pemerintah Desa, Ketua Adat, Alim Ulama, dan perwakilan Karang Taruna. “Dulu sudah ada pertemuan yang jelas, dan kita semua sepakat bahwa masalah kompensasi ini harus melalui persetujuan Orang Empat Jenis,” jelasnya lagi untuk mengingatkan kesepakatan awal.

Akan tetapi, kenyataannya justru berbanding terbalik. Dua hari pasca pertemuan itu, Kepala Desa Pulau Pandan dan Kepala Desa Karang Pandan diketahui telah menemui pihak perusahaan secara diam-diam tanpa memberitahu atau mengikutsertakan warga. “Mereka menemui pihak PLTA secara sembunyi-sembunyi, tanpa melibatkan kami,” tuturnya dengan nada kecewa.

Pascapetemuan rahasia itu, kedua Kepala Desa langsung mengumumkan bahwa PT Kerinci Merangin Hidro telah menyanggupi pemberian ganti rugi senilai Rp5 miliar untuk dua desa. Pengumuman mendadak ini justru menimbulkan kebingungan dan tanda tanya besar di kalangan warga. Alhasil, warga merasa bahwa mekanisme pembagian dana Rp5 miliar tersebut sangat tidak adil dan penuh kejanggalan.

“Sebagai contoh, jika Rp5 miliar itu dibagi ke dua desa, maka setiap KK hanya akan mendapatkan sekitar Rp5 juta. Berdasarkan data dari Pemerintah Desa dan Tim Terpadu, disebutkan bahwa ada 607 KK yang menerima nominal tersebut, sementara 510 KK menolak,” tambahnya memaparkan data. Yang menjadi pertanyaan besar, ia menekankan, jumlah KK yang menerima dan menolak jika dijumlahkan mencapai 1.117 KK. Padahal, jumlah KK sebenarnya di kedua desa hanya 937 KK. Artinya, ada selisih 180 KK yang tidak jelas asal-usulnya.

Kecurigaan warga pun semakin memuncak karena tidak ada transparansi data mengenai siapa saja yang tercatat sebagai penerima ganti rugi. “Beredar informasi yang kami dapat, satu orang bisa membawa 10 hingga 11 KK untuk mendapatkan uang Rp5 juta itu. Oleh karena itu, kami menantang pihak terkait untuk membuka data secara jelas. Apakah penerimanya benar-benar warga asli Pulau Pandan dan Karang Pandan? Apakah mereka masih hidup?” terangnya dengan berani.

Menanggapi gejolak penolakan ini, Bupati Kerinci, Monadi, akhirnya angkat bicara. Ia mengatakan bahwa masalah ini muncul terutama karena ketidakpuasan warga terhadap besaran nilai ganti rugi yang ditawarkan. “Pada dasarnya, mereka tidak terima dengan ganti rugi Rp5 juta per KK, tetapi meminta Rp300 juta per KK. Sayangnya, pihak perusahaan tidak sanggup memenuhi permintaan tersebut,” kata Monadi saat dihubungi via telepon pada Kamis (21/8/2025) malam.

Hingga berita ini diturunkan, jumlah KK yang telah mengambil ganti rugi sebesar Rp5 juta disebutkan baru mencapai 625 KK. Rinciannya, 279 KK berasal dari Pulau Pandan dan 346 KK dari Karang Pandan. Persoalan pelik ini telah dirumuskan bersama dengan Tim Terpadu yang beranggotakan Pemerintah Daerah, Kepolisian, TNI, dan Kejaksaan, namun hingga kini belum juga ditemukan titik terang penyelesaiannya.

“Mengingat ini merupakan obyek vital nasional, maka kami memutuskan untuk membuka pintu air untuk PLTA. Kemudian, warga yang tidak terima ganti rugi Rp5 juta pun melakukan demonstrasi hingga berujung pada bentrokan,” pungkas Monadi menerangkan kronologi insiden yang terjadi.

Dapatkan juga berita teknologi terbaru hanya di newtechclub.com