Berita  

Mantan Kades di Deli Serdang Tiba-Tiba Meninggal Usai Divonis Korupsi

Exposenews.id – Sebuah kisah pilu menyelimuti dunia peradilan Indonesia. Mantan kepala desa di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, meninggal dunia tak lama setelah pengadilan menjatuhkan vonis bersalah dalam kasus korupsi. Peristiwa ini tentu menyisakan duka mendalam bagi keluarga dan juga menjadi perhatian publik.

Selanjutnya, terungkap bahwa almarhum adalah Elisdawani Siregar. Ia merupakan mantan Kepala Desa Naga Timbul, Kecamatan Tanjung Morawa, Deli Serdang, Sumatera Utara, yang pernah memimpin pada periode 2016–2022. Masyarakat setempat pun mengenang kepemimpinannya sebelum kasus ini menyeret namanya.

Vonis Pengadilan: Lebih Ringan dari Tuntutan Jaksa

Pada 31 Juli 2025, Pengadilan Tipikor Medan akhirnya memutuskan perkara tersebut. Hakim memvonis Elisdawani dengan hukuman 2 tahun 6 bulan penjara. Selain itu, pengadilan juga membebani denda sebesar Rp 100 juta subsider 2 bulan penjara. Tidak berhenti di situ, majelis hakim pun memerintahkannya untuk membayar uang pengganti senilai Rp 378,2 juta subsider 1 tahun kurungan.

Namun yang menarik, vonis ini ternyata jauh lebih ringan dibandingkan tuntutan yang diajukan jaksa. Sebelumnya, JPU meminta hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp200 juta. Hal ini menunjukkan bahwa pengadilan memiliki pertimbangan yang berbeda.

Sayangnya, nasib malang tak dapat dielakkan. Elisdawani meninggal dunia saat status hukumnya masih sebagai terdakwa. Tepatnya pada Sabtu, 16 Agustus 2025, atau sekitar dua pekan setelah putusan dibacakan. Kepergiannya ini tentu mengubah seluruh dinamika proses hukum.

Penjelasan Resmi Kejaksaan: Status Hukum yang Gugur

Menanggapi hal tersebut, Kepala Seksi Intelijen Kejari Deli Serdang, Boy Amali, memberikan penjelasan resmi pada Selasa (19/8/2025). Beliau menyatakan bahwa proses administrasi untuk mengajukan banding belum selesai sebelum terdakwa meninggal, sehingga status hukum putusannya belum berkekuatan tetap. Meninggalnya terdakwa menyebabkan upaya hukum banding dinyatakan gugur demi hukum. Di sisi lain, Boy Amali menegaskan bahwa seluruh tahapan penahanan serta proses yang berkaitan dengan pemasyarakatan telah dilaksanakan dengan berpedoman pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pernyataan ini mengonfirmasi bahwa secara hukum, kasus tersebut dinyatakan selesai seiring dengan kematian terpidana.

Lebih lanjut, penyebab kematiannya pun diungkap. Elisdawani meninggal pada usia yang terhitung masih produktif, 52 tahun, akibat komplikasi penyakit diabetes yang dideritanya. Ia menghembuskan napas terakhir di salah satu rumah sakit sekitar pukul 14.42 WIB. Kondisi kesehatannya yang memburuk ternyata telah menjadi perhatian pihak berwenang.

Upaya Terakhir: Izin Pembebasan Penahanan untuk Perawatan

Sebelumnya, Pengadilan Tinggi Medan telah mengabulkan permohonan pembebasan penahanan untuknya. Hal ini dilakukan sehari sebelum ia wafat agar ia bisa mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit di bawah pengawasan ketat jaksa. Keputusan ini menunjukkan bahwa proses hukum tetap mempertimbangkan aspek kemanusiaan.

Niat Banding yang Tak Kesampaian

Di sisi lain, kuasa hukum Elisdawani menyatakan bahwa sebelum meninggal, kliennya sedang mempersiapkan upaya hukum banding. Mereka tengah menyusun strategi dan berkas banding untuk mengajukan permohonan ke pengadilan yang lebih tinggi. Sayangnya, niat itu tak kesampaian.

Kasus Serupa: Terdakwa Lain yang Juga Terjerat

Selain Elisdawani, ternyata ada nama lain yang terjerat kasus serupa. Arisandi, Kepala Desa Tanjung Garbus II, Kecamatan Pagar Merbau, juga divonis dalam kasus korupsi. Ia dihukum 5 tahun penjara, denda Rp200 juta subsider 3 bulan, serta wajib membayar uang pengganti Rp452,3 juta subsider 2 tahun penjara.

Boy Amali kembali memberikan penjelasan mengenai status hukum kasus Arisandi. Ia menyatakan bahwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebelumnya telah mengajukan tuntutan pidana penjara selama lima tahun enam bulan terhadap terpidana. Lebih lanjut, Boy Amali menegaskan bahwa putusan dalam perkara tersebut telah berkekuatan hukum tetap (inkrah) dikarenakan tidak adanya upaya hukum yang diajukan oleh pihak terpidana dalam jangka waktu yang ditetapkan.

Kisah ini menjadi pengingat betapa kompleksnya persoalan hukum dan kemanusiaan. Di satu sisi, hukum harus ditegakkan, tetapi di sisi lain, aspek kesehatan dan nyawa manusia juga tidak bisa diabaikan. Masyarakat pun diajak untuk mengambil hikmah dan belajar dari peristiwa ini.

Akhirnya, peristiwa meninggalnya Elisdawani menutup sebuah babak panjang proses hukum yang melelahkan. Keluarga besar Elisdawani tentu berduka, sementara masyarakat menyoroti pentingnya transparansi dan keadilan dalam setiap proses peradilan. Semoga kejadian seperti ini dapat menjadi evaluasi bagi semua pihak.