Berita  

Pentingnya Sosialisasi Massif Jadi Peringatan Ekonom untuk RUU Redenominasi Rupiah

Exposenews.id – Pemerintah secara resmi menggeber rencana monumental: menyiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Harga Rupiah atau Redenominasi.

Targetnya pun sangat ambisius! Mereka memasang deadline penyelesaian pada tahun 2027.

Informasi panas ini langsung terpampang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025. Peraturan tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2025-2029 ini sendiri telah ditetapkan Menteri Keuangan pada 10 Oktober 2025 lalu.

Lalu, siapa yang menjadi otak pelaksana kebijakan besar ini? Pemerintah menunjuk Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan sebagai penanggung jawab utamanya.

Tak hanya itu, dalam aturan tersebut, Kemenkeu juga merancang tiga RUU lainnya, lho! Ada RUU tentang Perlelangan, RUU tentang Pengelolaan Kekayaan Negara, dan RUU tentang Penilai.

Namun, RUU Redenominasi Rupiah jelas menjadi salah satu prioritas. Sebagai RUU luncuran, pemerintah berencana menyelesaikan draftnya tepat pada tahun 2027.

Lalu, apa tanggapan para pengamat ekonomi mengenai target 2027 untuk kebijakan sebesar ini? Ternyata, tanggapannya cukup beragam!

Ekonom Bongkar Faktor Krusial dan Peringatkan Bahaya Hiperinflasi!

Pertama-tama, Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menyoroti bahwa Indonesia harus menjalankan redenominasi Rupiah dengan tingkat kehati-hatian yang sangat tinggi. Alasan utamanya, sejarah global mencatat banyak negara yang sudah mencoba redenominasi, namun malah berakhir dengan bencana hiperinflasi. Karena itu, Bhima dengan tegas menyatakan bahwa persiapan dua atau tiga tahun sama sekali tidak cukup. “Persiapan tidak bisa 2-3 tahun tapi 8-10 tahun, yang berarti 2035 adalah waktu minimum implementasi redenominasi,” tegas Bhima ketika dihubungi, Sabtu (8/11/2025).

Selanjutnya, Bhima membeberkan beberapa pertimbangan krusial yang wajib dipikirkan matang-matang. Salah satu poin utamanya adalah kecenderungan perilaku penjual dalam melakukan pembulatan harga. Misalnya, sebuah barang yang sebelumnya harganya Rp 9.000, bukannya langsung menjadi Rp 9, penjual justru berpotensi menaikkan harganya menjadi Rp 10. Akibatnya, bukannya sederhana, harga malah bisa naik! Lebih lanjut, inflasi yang melonjak terlalu tinggi pasca-redenominasi berpotensi besar melemahkan daya beli masyarakat. Padahal, kita semua tahu, konsumsi rumah tangga merupakan motor utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. “Apakah mencapai 8 persen pertumbuhan bisa pakai redenominasi? Sepertinya belum bisa,” jelas Bhima dengan gamblang.

Tidak berhenti di situ, Bhima juga menekankan bahwa sosialisasi menjadi kunci keberhasilan mutlak yang tidak boleh diabaikan. Ia mengungkap fakta mengejutkan: lebih dari 90 persen transaksi di Indonesia masih mengandalkan uang tunai, meskipun penggunaan QRIS dan transaksi digital terus meningkat. “Kesenjangan sosialisasi bisa menyebabkan kebingungan administratif yang parah, terutama bagi pelaku usaha ritel karena ribuan jenis barang perlu menyesuaikan sistem pembukuannya,” pungkas Bhima mengingatkan.

Redenominasi Bisa Picu Bias Psikologis dan Manipulasi Harga!

Pentingnya Sosialisasi Massif Jadi Peringatan Ekonom untuk RUU Redenominasi Rupiah

Di sisi lain, Ekonom dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, justru melihat sisi positif dari kebijakan ini. Wijayanto menyakini bahwa redenominasi dapat memberikan manfaat positif, baik secara praktis maupun secara persepsi bagi masyarakat Indonesia. “Redenominasi akan memberikan manfaat positif secara praktis dan persepsi bagi Rupiah dan Indonesia, sehingga rencana yang sudah direncanakan lama sangat layak untuk dijalankan,” kata Wijayanto dengan penuh keyakinan ketika dihubungi secara terpisah, Sabtu (8/11/2025).

Namun demikian, Wijayanto juga tidak menutup mata akan adanya risiko. Menurutnya, secara teori moneter murni, redenominasi sebenarnya tidak berdampak langsung pada inflasi maupun nilai tukar Rupiah. Akan tetapi, ketika kita menggunakan pendekatan Behavioral Economics, ceritanya menjadi berbeda. Melalui pendekatan ini, adanya redenominasi dapat menciptakan bias psikologis pada konsumen. “Penelitian dengan pendekatan Behavioral Economics menunjukkan bahwa konsumen mengalami bias di mana barang-barang seolah lebih murah, sehingga mereka secara tidak sadar lebih banyak berbelanja. Pada akhirnya, hal ini akan memicu inflasi, walaupun dampaknya minor,” jelas Wijayanto dengan detail.

Terakhir, Wijayanto menegaskan sebuah poin yang sama pentingnya: secara teknis, proses redenominasi Rupiah bukanlah perkara sederhana yang bisa dianggap enteng. “Kita memerlukan persiapan yang sangat matang dan koordinasi yang solid antar banyak pihak. Tidak ketinggalan, literasi bagi seluruh rakyat juga wajib digencarkan supaya mereka tidak menjadi korban manipulasi harga yang tak bertanggung jawab,” pungkas Wijayanto menutup wawancara. Jadi, meski menjanjikan penyederhanaan, jalan menuju redenominasi Rupiah dipastikan penuh dengan tikungan dan tantangan yang harus diwaspadai!

Dapatkan juga berita teknologi terbaru hanya di newtechclub.com