Exposenews.id – Sebuah imbauan kontroversial baru saja dilontarkan oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Tanpa disangka-sangka, sang gubernur mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk menyisihkan uang sebesar Rp 1.000 setiap harinya sebagai wujud solidaritas sosial. Akibatnya, gagasan ini langsung memantik beragam reaksi pro dan kontra dari publik. Di satu sisi, sejumlah warga menyambut positif inisiatif ini, namun di sisi lain, banyak yang justru merasa keberatan dan diliputi kekhawatiran mendalam mengenai transparansi pengelolaan dana tersebut.
Kekhawatiran Utama: Transparansi yang Masih Dipertanyakan
Sebagai contoh, Imam Maftuh (32), seorang pekerja swasta di Kota Bandung, mengungkapkan ketidakkeberatannya dengan nominal sumbangan yang relatif kecil itu. Akan tetapi, pria ini dengan tegas menekankan syarat mutlak bagi pemerintah, yaitu keterbukaan dalam menyalurkan dana. “Bagi para pekerja, Rp 1.000 per hari mungkin tidak menjadi masalah. Akan lain ceritanya untuk ibu rumah tangga yang tidak bekerja, pasti akan menjadi pertimbangan sendiri. Yang paling penting, nanti penyalurannya harus jelas, saya khawatir dana ini justru disalahgunakan,” ujarnya saat diwawancarai di Jalan Cibeunying Utara, Senin (6/10/2025). Selanjutnya, Imam menambahkan sebuah peringatan bahwa meskipun nominalnya terlihat sepele, pengelolaan yang tidak transparan dapat dengan mudah memicu kecurigaan di tengah masyarakat. “Saya tidak bermaksud menyepelekan, tetapi yang perlu digarisbawahi, skema penyalurannya harus jelas. Jangan sampai dana ini hanya menumpuk dan pada akhirnya dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab,” tegasnya.
Suara Kontra: APBD Dinilai Harus Jadi Solusi Utama
Berbeda jauh dengan Imam, Hamzah (25), seorang fresh graduate, justru bersikap kontra dan menyuarakan penolakannya. Menurut perspektifnya, program ini justru akan menambah beban ekonomi masyarakat yang sudah susah. “Saya menolak bukan karena masalah nominalnya, lagipula dana untuk program sosial seharusnya bisa berasal dari APBD. Ini bukan soal meremehkan, tetapi mengapa harus melalui donasi? Apalagi, kondisi ekonomi saat ini juga sedang tidak baik-baik saja,” ungkapnya dengan nada prihatin. Lebih lanjut, Hamzah menegaskan bahwa pemerintah seharusnya fokus memperbaiki tata kelola anggaran yang ada sebelum meminta sumbangan dari rakyat. “APBD harusnya dikelola dengan lebih baik dan efisien. Menurut pendapat saya, alangkah lebih baik jika sumbangan justru diarahkan kepada para pejabatnya dengan memotong gaji mereka. Jangan lupa, masyarakat sudah berkontribusi dengan membayar pajak,” tegasnya dengan lantang.
Usulan Agar Pejabat Ikut Berkontribusi Lebih
Sementara itu, Silfi (29), seorang pekerja swasta lainnya, mencoba melihat celah cahaya dari gagasan ini. Ia berusaha mengambil sisi positif dengan menilai bahwa ide solidaritas sosial tersebut sebenarnya bisa diterapkan. Namun begitu, ia mengingatkan pemerintah untuk sungguh-sungguh mempertimbangkan kondisi masyarakat berpenghasilan rendah. “Secara konsep, gerakan ini bagus. Bagi mereka yang sudah bekerja, Rp 1.000 mungkin bukan jumlah yang signifikan. Akan tetapi, harus ada pertimbangan khusus bagi masyarakat yang penghasilannya pas-pasan,” tuturnya. Silfi juga mengingatkan agar program ini tidak malah membebani masyarakat kecil. “Mereka saja sudah cukup kesulitan untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari, jangan sampai program ini justru memberatkan mereka. Sebaliknya, akan lebih baik dan adil jika kontribusi justru datang dari para pejabat. Kenyataannya, gaji dan tunjangan mereka cukup lumayan, bahkan bisa mencapai puluhan juta rupiah,” tuturnya memberikan solusi.
Dari Ide hingga Surat Edaran Resmi Dedi Mulyadi
Lantas, dari manakah sebenarnya ide ini berawal? Ternyata, gagasan ini bermula dari Gerakan Rereongan Poe Ibu yang diluncurkan oleh Gubernur Dedi Mulyadi untuk memperkuat solidaritas sosial. Melalui gerakan yang menggaungkan semangat gotong royong ini, seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN), pelajar, dan masyarakat luas secara aktif diajak untuk menyisihkan Rp 1.000 per hari. Tujuannya sangat mulia, yaitu untuk membantu memenuhi kebutuhan darurat di dua sektor vital: pendidikan dan kesehatan. “Dengan penuh semangat, kami mengajak melalui Gerakan Rereongan Poe Ibu, ASN, pelajar, dan masyarakat untuk menyisihkan Rp 1.000 per hari. Pada dasarnya, kontribusi yang terlihat sederhana ini diharapkan dapat menjadi wujud nyata solidaritas dan kesukarelawanan sosial demi membantu kebutuhan darurat masyarakat,” ujar Dedi dalam keterangan tertulisnya yang dirilis pada Sabtu (4/10/2025). Sebagai bentuk komitmen, gerakan sosial ini secara resmi tertuang dalam Surat Edaran (SE) Nomor 149/PMD.03.04/KESRA yang ditandatangani langsung oleh Dedi Mulyadi pada tanggal 1 Oktober 2025. Kini, bola panas transparansi dan kepercayaan publik berada di tangan pemerintah untuk mewujudkan niat baik ini.
Dapatkan juga berita teknologi terbaru hanya di newtechclub.com