Berita  

Korban Keracunan MBG di Bandung Barat Melonjak Jadi 842 Jiwa dalam Tiga Hari

Amalia Husna Khodijah bocah perempun berusia 5 tahun tercatat sebagai korban keracunan menu MBG dengan usia paling muda saat ditemui di Posko Kesehatan Kecamatan Cipongkor,

Exposenews.id – Sebuah tragedi keracunan makanan besar-besaran mengguncang Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, dengan jumlah korban yang mencapai angka mencengangkan, yaitu 842 orang. Yang lebih mengejutkan lagi, angka mengerikan ini terakumulasi hanya dalam waktu tiga hari berturut-turut, sejak Senin (22/9/2025) hingga Rabu (24/9/2025), yang melibatkan dua kecamatan sekaligus, Cipongkor dan Cihampelas.

Konfirmasi Korban dan Kronologi Kejadian

Plt Kepala Dinas Kesehatan Bandung Barat, Lia N Sukandar, langsung mengonfirmasi jumlah fantastis ini. Berdasarkan data terbaru yang dirilisnya pada pukul 16.24 WIB, ia menyatakan, “Total korban keracunan sebanyak 842 orang.” Lia menyampaikan keterangan ini saat dijumpai di posko kesehatan yang berpusat di Kantor Kecamatan Cipongkor, pada Rabu malam.

Lia N Sukandar lalu membeberkan kronologi rentetan kejadian yang berujung pada bencana kesehatan ini. Ternyata, gelombang pertama keracunan massal sudah meledak pada Senin lalu di Cipongkor, dengan menyapu 393 korban yang terdiri dari anak-anak PAUD hingga remaja SMK. Investigasi sementara menunjukkan, para korban sebelumnya menyantap menu Makanan Bergizi (MBG) yang sumbernya berasal dari dapur SPPG Cipari di wilayah Kecamatan Cipongkor yang sama.

Namun, tragedi ini ternyata belum berakhir. Pada hari Rabu, malapetaka serupa kembali terulang dan bahkan meluas, tidak hanya di Cipongkor tetapi juga merambah ke wilayah Cihampelas. Akibatnya, terjadi penambahan korban yang sangat signifikan, yaitu 449 orang, yang semakin memperparah situasi.

Klarifikasi Data dan Kondisi Darurat

Menyikapi perbedaan data yang sempat ramai diperbincangkan antara Pemkab Bandung Barat dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Lia N Sukandar dengan tegas memberikan klarifikasi. Ia menjelaskan bahwa perbedaan itu muncul akibat adanya perhitungan awal yang masih bersifat kasar. Akan tetapi, pihaknya telah melakukan pembaruan data berdasarkan laporan resmi dari Dinas Kesehatan (Dinkes) setempat sehingga angka 842 ini adalah angka yang akurat.

Yang patut dicermati, Lia N Sukandar mengungkapkan sebuah fakta mengejutkan: jumlah korban pada kejadian kedua justru lebih banyak dibandingkan dengan hari pertama. Meskipun dihadapkan pada situasi yang lebih parah, penanganan krisis pada gelombang kedua ini berjalan relatif lebih cepat. Hal ini terjadi karena banyaknya bantuan yang segera berdatangan dari berbagai pihak untuk meringankan beban petugas.

Sayangnya, di tengah geliat pertolongan, kendala nyaris menghampiri. Fasilitas kesehatan, terutama pasokan oksigen di posko, sempat menjadi hambatan serius. Lia mengakui, “Para petugas sempat kewalahan karena persediaan oksigen mendadak habis.” Namun, kabar baiknya, krisis oksigen ini tidak berlangsung lama. Berkat kepedulian masyarakat, banyak pihak yang segera memasok tabung oksigen tambahan ke semua posko kesehatan yang ada.

Kondisi Korban dan Kepadatan Rumah Sakit

Kondisi para korban sendiri dilaporkan cukup memprihatinkan. Mereka yang mengalami gejala berat harus menderita kejang-kejang, dehidrasi akut, hingga penurunan kesadaran. Tanpa menunggu lama, korban dengan kondisi kritis tersebut langsung dirujuk ke sejumlah rumah sakit terdekat. Mayoritas dari mereka akhirnya dirawat di RSUD Cililin, yang menjadi rumah sakit rujukan utama.

Situasi sempat memanas ketika RSUD Cililin tidak mampu lagi menampung pasien baru karena kepadatan yang luar biasa. Merespons hal ini, Dinas Kesehatan Bandung Barat terpaksa mengambil langkah darurat dengan menutup sementara akses penerimaan pasien baru sekitar pukul 15.00 WIB. Selanjutnya, para korban baru dialihkan ke beberapa rumah sakit lain di sekitar wilayah untuk mendapatkan penanganan yang cepat.

Respons Pemerintah dan Ultimatum Gubernur

Lalu, bagaimanakah respons dari pemerintah pusat? Kepala Staf Presiden (KSP), M Qodari, tidak menampik bahwa kasus di Jawa Barat ini adalah yang terparah secara nasional. Bahkan, dari total 5.000 kasus keracunan MBG yang ada di Indonesia, Jawa Barat tercatat sebagai provinsi dengan jumlah kasus tertinggi. Fakta ini disampaikannya di Istana, Jakarta, pada Senin (22/9/2025).

Ternyata, wabah keracunan ini bukanlah fenomena lokal Bandung Barat belaka. Peristiwa serupa sebelumnya juga telah terjadi di beberapa daerah lain di Jawa Barat, seperti Garut, Tasikmalaya, Sukabumi, dan Cianjur. Hal ini jelas mengindikasikan adanya masalah sistemik dalam pengelolaan program MBG di tingkat provinsi.

Menanggapi gugatan publik, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, akhirnya angkat bicara dan berjanji akan segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap semua penyelenggara maupun vendor penyedia makanan MBG. Mantan Bupati Purwakarta yang dikenal pragmatis ini berencana memanggil seluruh pengelola MBG se-Jawa Barat pekan depan untuk meminta penjelasan detail.

Menurut analisis Dedi Mulyadi, akar masalah dari rentetan keracunan ini adalah ketidakseimbangan antara jumlah penerima layanan dengan sumber daya tenaga yang tersedia. Faktor utamanya, manajemen penyajian makanan yang dinilainya sangat buruk. Ia memberikan contoh konkret, makanan dimasak pada dini hari tetapi baru disajikan siang harinya, dengan jarak waktu yang terlalu lama sehingga kualitas makanan pasti menurun.

Dedi Mulyadi pun tidak segan memberikan ultimatum. “Contohnya, yang dilayani ribuan orang, tetapi yang melayani hanya sedikit. Masaknya jam 1 malam, disajikan jam 12 siang. Jarak waktunya terlalu lama, ini yang harus dievaluasi. Kalau penyelenggara tidak mampu, ya sudah, harus diganti dengan yang lebih mampu,” tegas Dedi saat ditemui di Balai Pakuan Bogor, Rabu (24/9/2025).

Dampak Psikologis dan Penolakan Moratorium

Walaupun tidak ada korban jiwa yang dilaporkan, Dedi Mulyadi menyoroti dampak psikologis jangka panjang yang mungkin dialami anak-anak. Kekhawatirannya adalah, mereka bisa menjadi trauma dan kehilangan kepercayaan untuk mengonsumsi makanan MBG lagi. Padahal, program ini sejatinya sangat penting untuk mendukung tumbuh kembang anak-anak.

Lantas, apakah moratorium atau penghentian sementara program MBG diperlukan? Dedi Mulyadi dengan bijak menolak wacana tersebut. Ia menilai langkah yang lebih penting dan mendesak adalah mengevaluasi penyelenggara terlebih dahulu secara ketat. Komitmennya jelas, ia akan memastikan bahwa hanya penyedia makanan yang benar-benar mampu dan kualitas makanannya sesuai standar yang boleh menjalankan program ini.

Sebagai penutup, Dedi Mulyadi menegaskan prinsipnya. “Yang harus kita lihat, pertama, apakah penyelenggaranya mampu atau tidak. Kedua, apakah makanan yang disajikan sudah sesuai dengan harga atau belum. Kalau ternyata tidak mampu dan kualitasnya menurun, ya sudah, harus kita evaluasi total,” pungkasnya, menutup pernyataannya.

Dapatkan juga berita teknologi terbaru hanya di newtechclub.com