Exposenews.id – KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) langsung menahan lima tersangka utama dalam kasus mega skandal pencairan kredit usaha fiktif di BPR Jepara Artha (Perseroda) yang merugikan negara miliaran rupiah! Kelima tersangka tersebut, yang berhasil dibekukan oleh penyidik, merupakan orang-orang yang memegang kendali dalam skema rumit ini.
Sebagai informasi, pelaku utama dalam drama korupsi ini adalah Jhendik Handoko (JH) selaku Direktur Utama BPR Jepara Artha dan Mohammad Ibrahim Al’asyari (MIA) selaku Direktur PT Bumi Manfaat Gemilang (BMG). Selain itu, KPK juga meringkus tiga orang lainnya dari internal bank, yaitu Iwan Nursusetyo (IN) selaku Direktur Bisnis dan Operasional, Ahmad Nasir (AN) selaku Kepala Divisi Bisnis, serta Ariyanto Sulistiyono (AS) selaku Kepala Bagian Kredit.
Asep Guntur Rahayu, sang Plt. Deputi Penindakan KPK, dengan tegas menyatakan bahwa pihaknya telah menjebloskan kelima tersangka ke dalam Rumah Tahanan (Rutan) Cabang KPK. “Mereka kami tahan untuk jangka waktu 20 hari pertama, terhitung sejak tanggal 18 September 2025 hingga 7 Oktober 2025,” ujar Asep di Gedung Merah Putih KPK, Kamis (18/9/2025).
Tiga Tersangka Sempat Lalai dan Dijemput Paksa
Yang membuatnya semakin menarik, ternyata tiga dari lima tersangka sempat berusaha menghindar! Iwan Nursusetyo, Ahmad Nasir, dan Ariyanto Sulistiyono bersikap tidak kooperatif saat dipanggil penyidik. Akibatnya, penyidik harus melakukan penjemputan paksa all the way ke Semarang, Jawa Tengah, untuk membawa mereka ke Jakarta. “Tim penyidik berangkat kemarin, dan penjemputan paksa berhasil dilakukan pagi ini. Alhamdulillah, mereka akhirnya tiba di KPK pukul 14.00,” cerita Asep dengan penuh keyakinan.
Penetapan kelimanya sebagai tersangka bukanlah tanpa alasan. KPK telah membangun kasus ini dengan sangat kuat melalui serangkaian pemeriksaan terhadap puluhan saksi dan ahli, penggeledahan di beberapa rumah dan kantor, serta penyitaan barang, aset, dan uang yang diduga terkait kasus ini.
Selanjutnya, para tersangka akan menghadapi dakwaan berat berdasarkan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Tipikor jo Pasal 55 KUHP. Pasal-pasal ini mengancam mereka dengan hukuman yang sangat maksimal jika nantinya terbukti bersalah di persidangan.
Modus Sindikasi yang Berujung Pada Kredit Bodong
Lantas, bagaimana sebenarnya kronologi kasus yang menggemparkan dunia perbankan regional ini? Asep membeberkan bahwa skandal ini berawal pada 2021, ketika Jhendik Handoko sebagai Dirut mulai gencar melakukan ekspansi pemberian Kredit Usaha Sindikasi.
Akan tetapi, dalam dua tahun terakhir, terjadi lonjakan outstanding kredit yang sangat mencurigakan kepada 2 grup debitur, dengan nilai fantastis sekitar Rp 130 miliar! Kredit ini dicairkan melalui 26 debitur yang saling terafiliasi. Alhasil, performa kredit pun memburuk dan akhirnya macet total, yang kemudian membuat BPR Jepara Artha harus menanggung rugi akibat pencadangan kerugian sebesar 100 persen.
Sebagai solusi instan yang penuh kejahatan, Jhendik pun bersekongkol dengan Ibrahim Al-Asyari untuk mencairkan kredit fiktif! Skema ini mereka gunakan untuk menutupi lubang kerugian yang ada.
Dana Fiktif untuk Tutupi Kerugian dan Encekuran Pribadi
Yang lebih mencengangkan, KPK menemukan fakta bahwa sebagian dana kredit fiktif ini justru dipakai oleh manajemen BPR Jepara sendiri untuk memperbaiki performa kredit macet dengan membayar angsuran. Sementara, sebagian lainnya dipakai oleh Ibrahim Al-Asyari untuk kepentingan pribadinya.
Sebagai imbalan, Jhendik secara nekat menjanjikan penggantian berupa penyerahan agunan kredit yang telah dilunasi menggunakan dana fiktif tersebut kepada Ibrahim. Ini jelas merupakan sebuah skema launder aset yang sangat sistematis.
Akibat kesepakatan haram itu, selama periode 2022-2023, BPR Jepara Artha akhirnya mencairkan 40 kredit fiktif dengan total nilai yang sangat fantastis, yakni Rp 263,6 miliar, kepada pihak-pihak yang identitasnya dipinjamkan atas arahan Ibrahim.
Rekayasa Data Debitur, dari Tukang Hingga Pengangguran Dapat Kredit Miliaran
Yang memprihatinkan, kredit-kredit tersebut dicairkan tanpa analisis yang layak sama sekali! Padahal, debitur-debiturnya hanyalah orang-orang biasa seperti pedagang kecil, tukang, buruh, hingga pengangguran. Namun, mereka dibuat seolah-olah layak mendapatkan kredit dengan rata-rata Rp 7 miliar per orang! Sungguh suatu hal yang tidak masuk akal.
Untuk merekrut ‘debitur bodong’ ini, Ibrahim dibantu oleh rekannya mencari orang-orang yang mau meminjamkan namanya dengan iming-iming fee sekitar Rp 100 juta per orang. Selain itu, mereka juga mempersiapkan dokumen pendukung palsu, seperti perizinan fiktif, rekening koran bodong, hingga foto usaha orang lain yang dimark-up agar terlihat layak mendapatkan kredit.
Tentu saja, sebagai timbal balik atas pencairan kredit fiktif tersebut, Ibrahim memberikan sejumlah uang kepada tersangka dari internal BPR. JH menerima Rp 2,6 miliar, IN menerima Rp 793 juta, AN menerima Rp 637 juta, dan AS menerima Rp 282 juta. Bahkan, mereka juga diberi uang untuk umrah senilai Rp 300 juta! Ini membuktikan bahwa korupsi yang mereka lakukan benar-benar terstruktur dan saling menguntungkan.
Dapatkan juga berita teknologi terbaru hanya di newtechclub.com












