JAKARTA, Exposenews.id – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dengan gegap gempita diluncurkan pemerintah pada awal 2025, kini justru menuai badai sorotan tajam. Alih-alih mencapai target mulia untuk menekan angka stunting dan meningkatkan gizi anak, program ini malah mencatatkan sebuah catatan kelam: lebih dari 4.000 kasus keracunan makanan hanya dalam 8 bulan pertama pelaksanaannya!
Ekonom Bongkar Masalah Sistemik di Balik Angka Keracunan
Kemudian, Kepala Pusat Ekonomi dan UMKM Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Izzudin Al Farras, pun angkat bicara. Ia menegaskan bahwa berbagai temuan di lapangan telah mengungkap deretan persoalan serius yang melilit program MBG. Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa angka keracunan yang mencengangkan itu bahkan belum menggambarkan secara menyeluruh masalah mendasar lainnya, yaitu lemahnya totalitas perencanaan dan pengawasan program MBG di banyak daerah.
“Jadi, faktanya sudah lebih dari 4.000 korban keracunan makanan dalam 8 bulan pertama pengawasan MBG. Selain itu, hal ini juga belum mencakup lemahnya perencanaan dan pengawasan program MBG di berbagai daerah di Indonesia,” tegas Farras dalam sebuah diskusi yang digelar INDEF secara daring, Kamis (4/9/2025).
Puncak Kasus: Dari Minyak Babi hingga Ulat dalam Makanan
Lebih lanjut, kasus keracunan yang mencuat dari pelaksanaan MBG ini hanyalah puncak dari sebuah gunung es persoalan besar yang menyelimuti program tersebut. Farras kemudian merinci sejumlah pemberitaan media massa yang menyoroti berbagai temuan mencengangkan di lapangan. Mulai dari perkara bahan mentah yang dipasok ke SPPG atau dapur umum, lalu dugaan penggunaan minyak babi pada nampan MBG, hingga praktik markup anggaran yang bahkan diakui oleh Badan Gizi Nasional (BGN).
Tidak berhenti di situ, masalah lain juga turut membayangi. Masalah dapur fiktif yang berpotensi menjadi sarang korupsi, serta temuan lain yang jauh lebih memprihatinkan, seperti ulat, hewan-hewan kecil yang masih hidup atau sudah mati dalam makanan, sampai sajian yang sudah basi tetapi tetap dengan nekatnya diberikan kepada anak-anak.
Tata Kelola Lemah dari Hulu ke Hilir
Oleh karena itu, menurutnya, rangkaian kasus tersebut jelas memperlihatkan betapa lemahnya tata kelola sejak tahap perencanaan hingga pengawasan, baik di pusat maupun daerah. Masalah ini bukan hanya sekadar soal kelalaian teknis semata, melainkan telah mencerminkan sebuah kegagalan sistematis dalam memastikan kualitas program yang menyentuh puluhan juta penerima manfaat.
“Jadi, ini sebuah hal yang menurut saya sudah sangat masif permasalahannya, sehingga benar-benar telah menjadi masalah nasional. Selanjutnya, dari total 8 bulan pelaksanaan program MBG, per 28 Agustus, Pak Presiden menyampaikan bahwa MBG telah diterima oleh 23 juta penerima manfaat,” paparnya secara detail.
“Akan tetapi, dalam 8 bulan pelaksanaannya, MBG telah memakan lebih dari 4.000 korban keracunan, dan berbagai permasalahan tata kelola yang buruk yang tadi sudah saya sampaikan,” beber Farras lagi dengan nada prihatin.
Peringatan Keras: Ekspansi Anggaran Bisa Perbanyak Korban
Selanjutnya, jika masalah mendasar ini tidak segera dibenahi, maka rencana pemerintah untuk memperluas cakupan program dari alokasi anggaran Rp 71 triliun pada tahun ini menjadi Rp 335 triliun pada era APBN 2026 justru berpotensi sangat berbahaya. Potensinya adalah memperbesar jumlah korban, seiring dengan membengkaknya anggaran yang digelontorkan.
Korban Bukan Sekadar Angka Statistik
Bahaya terbesar kemudian muncul ketika para korban hanya dianggap sebagai data tanpa makna, seolah-olah mereka tidak lebih dari sekadar deretan angka dingin dalam laporan resmi. Dengan pola pikir seperti itu, risiko jatuhnya lebih banyak korban akan terus meningkat, sementara pada saat yang sama negara justru gagal melindungi masyarakat yang seharusnya menjadi penerima manfaat utama.
Desakan untuk Evaluasi Total Sebelum Ekspansi
Karena itu, langkah bijak dan mendesak yang perlu segera ditempuh adalah melakukan evaluasi total sebelum bahkan memikirkan untuk memperluas program MBG kepada 82 juta lebih penerima manfaat. Pemerintah harus berbenah terlebih dahulu dengan memperkuat perencanaan, memperketat pengawasan, serta memastikan tata kelola program benar-benar berjalan dengan baik.
Tanpa itu semua, penambahan anggaran hingga ratusan triliun rupiah hanya akan memperbesar peluang terjadinya kegagalan yang lebih masif dan pada akhirnya justru merugikan lebih banyak masyarakat.
“Jadi, jangan sampai kita mau ekspansi program MBG dari Rp 71 triliun yang direncanakan pada awal tahun ini, ke Rp 335 triliun dalam era APBN 2026. Itu jangan sampai juga angka korbannya melonjak seperti lonjakan anggaran juga,” pungkasnya dengan nada warning.
Dapatkan juga berita teknologi terbaru hanya di newtechclub.com