JAKARTA, Exposenews.id – Sebuah gugatan perdata yang mencengangkan telah dilayangkan kepada Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Subhan Palal, seorang warga sipil, secara resmi membawa nama Gibran ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Jumat (29/8/2025). Gugatan ini seketika menyedot perhatian publik karena nilai klaimnya yang sangat fantastis.
Perkara yang terdaftar dengan nomor 583/Pdt.G/2025/PN Jkt.Pst ini tidak hanya menyasar Gibran, melainkan juga menjadikan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai tergugat. Salah satu tuntutan utama dalam gugatan tersebut menyatakan bahwa Gibran dan KPU harus membayar uang ganti rugi yang nilainya mencapai Rp 125 triliun! Petitum gugatan secara jelas menyebutkan, “Menghukum Para Tergugat secara tanggung renteng membayar kerugian materiil dan immateriil kepada Penggugat dan seluruh Warga Negara Indonesia sebesar Rp 125 triliun dan Rp 10 juta dan disetorkan ke kas negara.”
Lantas, Apa Akar Permasalahannya?
Ternyata, gugatan ini berpusat pada satu isu yang terus mengikuti nama Gibran sejak masa pencalonan: keabsahan ijazah pendidikan menengahnya. Subhan Palal dengan tegas menyatakan bahwa syarat pendidikan SMA untuk calon wakil presiden pada Pilpres lalu tidak terpenuhi oleh Gibran.
Subhan menegaskan, “Syarat menjadi cawapres tidak terpenuhi. Gibran tidak pernah sekolah SMA sederajat yang diselenggarakan berdasarkan hukum RI.” Argumen ini ia sampaikan ketika dihubungi pada Rabu (3/9/2025).
Data Pendidikan Gibran yang Dipertanyakan
Berdasarkan informasi yang diunggah KPU di laman resmi infopemilu.kpu.go.id, publik mengetahui bahwa Gibran menyelesaikan pendidikan setara SMA di dua institusi luar negeri. Pertama, Orchid Park Secondary School Singapore pada periode 2002-2004. Kemudian, ia melanjutkan ke UTS Insearch Sydney, Australia dari tahun 2004 hingga 2007.
Akan tetapi, Subhan bersikukuh bahwa kedua institusi asing tersebut tidak memenuhi syarat yang ditetapkan untuk pendaftaran calon wakil presiden. Ia merujuk pada bunyi Undang-Undang Pemilu yang mensyaratkan calon presiden dan wakil presiden harus berpendidikan minimal “tamat SLTA atau sederajat”.
Pokok Sengketa: Penafsiran ‘Sederajat’
Di sinilah letak perdebatan utamanya. Subhan berargumen bahwa KPU tidak memiliki kewenangan untuk menentukan kesetaraan institusi luar negeri dengan SMA di dalam negeri. Lebih lanjut, ia menekankan bahwa meskipun institusi tersebut diakui setara secara internasional, UU Pemilu secara eksplisit hanya menyebut “tamat SLTA atau SMA”.
“Meski (institusi luar negeri) setara (SMA), di UU enggak mengamanatkan itu. Amanatnya tamat riwayat SLTA atau SMA, hanya itu,” tegas Subhan. Ia meyakini bahwa definisi “SLTA atau SMA sederajat” dalam UU merujuk secara khusus pada sekolah yang beroperasi di bawah hukum Indonesia. Oleh karena itu, ia ingin pengadilan menguji kebenaran penafsiran yang dilakukan oleh KPU. “Ini pure hukum, ini kita uji di pengadilan. Apakah boleh KPU menafsirkan pendidikan sederajat dengan pendidikan di luar negeri,” paparnya.
Jalur Hukum Sebelumnya
Sebelum menggugat ke Pengadilan Negeri, Subhan ternyata telah mengupayakan jalur hukum lainnya. Ia terlebih dahulu mengajukan gugatan serupa ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) DKI Jakarta. Sayangnya, kala itu gugatannya tidak dapat diterima karena PTUN menganggap telah melewati batas waktu untuk memproses gugatan yang terkait dengan pencalonan Gibran.
Perlu diingat, putusan sengketa Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi sendiri telah dibacakan jauh sebelumnya, yaitu pada 22 April 2024. Tidak lama setelah putusan MK, PDI-P juga diketahui pernah menggugat pencalonan Gibran ke PTUN Jakarta. Namun, putusan yang dibacakan pada 25 Oktober 2024 akhirnya tidak mengubah status Gibran.
Bantahan Kuat Motif Politik
Dalam situasi seperti ini, spekulasi tentang adanya backing atau aktor politik tertentu selalu mengemuka. Namun, Subhan dengan lugas membantah semua tudingan tersebut. Ia mengklaim bahwa langkahnya menggugat Gibran dan KPU murni berasal dari inisiatifnya sendiri, tanpa ada dorongan atau sponsor dari pihak manapun.
“Saya maju sendiri. Enggak ada yang sponsor,” ujar Subhan meyakinkan. Ia menjelaskan bahwa gugatannya lahir dari kekhawatirannya terhadap penegakan hukum di Indonesia. Ia menduga KPU mengalami tekanan berat saat memproses pencalonan Gibran.
“Saya lihat, hukum kita dibajak nih kalau begini caranya. Enggak punya ijazah SMA (tapi bisa maju Pilpres). Ada dugaan, KPU kemarin itu terbelenggu relasi kuasa,” lanjutnya.
Subhan menegaskan bahwa niatnya adalah untuk memperjelas dan menegakkan hukum. Ia menunjukkan bukti keseriusannya melalui petitum gugatan yang meminta ganti rugi disetor ke kas negara, bukan untuk keuntungan pribadi atau kelompoknya. “Menghukum Para Tergugat secara tanggung renteng membayar kerugian materiil dan immateriil kepada Penggugat dan seluruh Warga Negara Indonesia sebesar Rp 125 triliun dan Rp 10 juta dan disetorkan ke kas negara,” demikian bunyi petitum yang ia ajukan.
Masyarakat pun kini menantikan perkembangan sidang perdana gugatan perdata terhadap Gibran dan KPU RI yang dijadwalkan akan digelar pada Senin (8/9/2025) di PN Jakpus. Sidang ini dipastikan akan menjadi sorotan nasional.
Dapatkan juga berita teknologi terbaru hanya di newtechclub.com