Terbangin Drone di Kerinci Bayar Rp 2 Juta, Komunitas Protes: “Promosi Jadi Terhambat!”

Seorang pendaki sedang beristirahat di jalur pendakian dari Tugu Yuda menuju ke Puncak Gunung Kerinci

JAMBI, Exposenews.id – Siap-siap merogoh kocek dalam! Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) secara resmi memberlakukan tarif baru yang bikin melongo: Rp 2 juta untuk setiap penerbangan drone di kawasan Gunung Kerinci, Provinsi Jambi. Yang pasti, kebijakan ini langsung memantik pro dan kontra!

Kebijakan Resmi dan Dasar Hukum

Tanpa basa-basi lagi, Kepala Balai Besar TNKS, Haidir, langsung menegaskan kebijakan ini. Selanjutnya, dia memaparkan bahwa aturan mahal ini bukanlah tanpa dasar, melainkan berlandaskan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2024 dan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor 12 Tahun 2025. Akibatnya, setiap pendaki yang berniat mengudarakan drone di Gunung Kerinci sekarang wajib menyetor Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar dua juta rupiah itu.

“Benar, sudah berlaku (biaya penerbangan drone) sejak terbit PP 36/2024 dan Permenhut No 12/2025,” tegas Haidir kepada Exposenews.id melalui sambungan telepon, Selasa (2/9/2025). Tak hanya itu, dia juga menjelaskan bahwa seluruh pungutan PNBP ini akan ditransfer langsung ke bendahara penerima. Namun, ada lagi aturan ketatnya!

Lokasi dan Aturan Penerbangan yang Diperketat

Ternyata, lokasi menerbangkan drone juga tidak boleh sembarangan! Haidir menyebutkan bahwa pemerintah hanya mengizinkan penerbangan drone dalam radius tiga kilometer dari Puncak Gunung Kerinci atau yang sering disebut “Puncak Indrapura”. Alasannya, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi telah memberi imbauan kepada pengelola TNKS karena kawasan ini dinilai rawan. Jadi, intinya, pendaki hanya boleh menerbangkan drone di sekitar Shelter II Gunung Kerinci.

Lalu, bagaimana prosedurnya? Haidir menerangkan bahwa tidak ada persyaratan khusus yang merepotkan. Pada intinya, calon pengguna drone hanya perlu menyelesaikan pembayaran sebesar Rp 2 juta. Dengan begitu, “Itu akan langsung masuk ke kas penerimaan negara,” pungkasnya.

Tanggapan Pedas dari Komunitas Drone: “Ini Malah Bikin Promosi Wisata Mandek!”

Di sisi lain, kebijakan ini justru menuai badai protes dari komunitas drone. Sebagai contoh, Ketua Asosiasi Pilot Drone Indonesia (APDI) Jambi, Lutfi, langsung menyuarakan kekecewaannya. Menurutnya, kebijakan ini justru sangat memberatkan komunitas, asosiasi, dan para pendaki yang punya niat tulus untuk mempromosikan keindahan Gunung Kerinci dari sudut pandang yang berbeda dan epik.

“Sebenarnya, kami (APDI) sejak awal tidak sepakat dengan kebijakan itu,” ujar Lutfi dengan nada kecewa saat diwawancarai pada Rabu (3/9/2025). Lebih lanjut, dia mengungkapkan bahwa mereka bahkan sudah melakukan audiensi dan meminta kebijakan tersebut untuk tidak diterapkan. Sayangnya, permohonan mereka tampaknya tidak digubris dan aturan itu akhirnya tetap berlaku, termasuk di Gunung Kerinci.

Perspektif Lain: Potensi Dampak Jangka Panjang bagi Gunung Kerinci

“Mengapa kami kurang setuju? Karena sejatinya penggunaan drone justru membantu memperkenalkan wisata di tempat tersebut (Gunung Kerinci) kepada khalayak yang lebih luas,” tambah Lutfi dengan semangat. Akibatnya, dengan diberlakukannya tarif selangit ini, Lutfi khawatir minat orang-orang untuk mempromosikan keindahan gunung akan langsung anjlok. Ujung-ujungnya, promosi wisata justru terhambat, bukan terbantu.

Bukan cuma itu aja! Lutfi juga memaparkan argumentasi lain yang tak kalah kuat. Pertama-tama, drone sebenarnya bisa menjadi alat bantu yang sangat powerful bagi pengelola TNKS. Misalnya, drone dapat digunakan untuk memantau ekosistem baru, tutupan lahan, pembukaan lahan baru, hingga keberadaan flora dan fauna. Bahkan, hewan langka pun bisa tertangkap kamera drone. “Yang nantinya bisa kami informasikan ke bagian taman nasional,” jelas Lutfi. Artinya, drone justru bisa membantu tugas pengawasan mereka, bukan mengganggu.

Sanggahan atas Alasan Kerusakan Ekosistem dan Kekhawatiran Pelanggaran

Selanjutnya, Lutfi juga menyanggah anggapan bahwa penerbangan drone dapat merusak ekosistem. Pasalnya, jumlah drone yang diterbangkan sudah pasti mereka batasi dan tidak akan dilakukan secara serentak. “Ya kami enggak mungkin menerbangkan drone sebanyak 10 secara bersamaan,” tuturnya. Alih-alih menerapkan tarif mahal, Lutfi justru berpendapat bahwa jika ada kawasan privat yang tidak boleh didokumentasikan, sebaiknya pengelola menyampaikannya secara jelas.

Yang paling dikhawatirkannya, kebijakan ini justru akan memicu efek negatif. Bukannya patuh, para penggiat media sosial seperti vlogger dan selebgram malah berpotensi melanggar aturan dengan sengaja. Penyebabnya, mereka harus mengeluarkan biaya Rp 2 juta yang sangat besar hanya untuk sebuah konten promosi yang sebenarnya juga menguntungkan pihak taman nasional. Jadi, bisa dibilang kebijakan ini seperti pisau bermata dua yang justru kontra-produktif.

Dapatkan juga berita teknologi terbaru hanya di newtechclub.com