Exposenews.id – Dalam sebuah langkah yang sangat ambisius, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kini berencana membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) secara masif di seluruh Koperasi Desa Merah Putih. Tujuan utamanya adalah mendorong kemandirian energi di tingkat akar rumput. Bayangkan saja, jika target superbesar ini benar-benar tercapai, kapasitas total PLTS yang terpasang di lebih dari 80.000 unit koperasi bisa meledak hingga mencapai 100 gigawatt (GW). Angka ini sungguh fantastis dan bisa mengubah peta energi terbarukan Indonesia.
Meski terdengar sangat menjanjikan, langkah strategis pemerintah ini justru diprediksi akan menghadapi tantangan keberlanjutan yang sangat berat. Tanpa disadari banyak pihak, analis Sistem Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan dari Institute for Essential Services Reform (IESR), Alvin Putra Sisdwinugraha, secara tegas memperingatkan bahwa proyek-proyek semacam ini memiliki riwayat yang buruk karena kerap terbengkalai hanya setelah beberapa tahun beroperasi.
“Kami mengetahui dengan pasti bahwa sebenarnya proyek-proyek listrik selama ini, baik yang berasal dari Kementerian ESDM maupun yang berupa hibah kepada pemerintah daerah, memiliki catatan suram. Faktanya, banyak dari proyek-proyek ini yang tidak sustain dan pada akhirnya terbengkalai begitu saja,” ujar Alvin dengan gamblang dalam sebuah webinar pada Selasa (2/9/2025).
Sebagai bukti nyata, ia lalu mencontohkan kegagalan proyek serupa yang sebelumnya telah diterapkan di Bali. Menurut penuturannya, proyek itu gagal total terutama karena tidak melibatkan masyarakat lokal dalam perencanaan dan eksekusinya. Akibatnya, masyarakat justru memandang proyek ini sebagai sesuatu yang tidak aspiratif.
“Ternyata ini menjadi aspirasi masyarakat juga bahwa kenapa proyek-proyek ini tidak sukses. Jadi, kuncinya ada pada partisipasi aktif mereka,” tutur Alvin lebih lanjut.
Oleh karena itu, menurut Alvin, kunci keberhasilan mutlak proyek PLTS pada Koperasi Merah Putih sepenuhnya terletak pada pelibatan masyarakat sejak fase paling awal. Dengan kata lain, inisiatifnya tidak boleh datang dari atas saja, tetapi harus lahir dari kebutuhan warga.
“Proyek ini tentu saja bicara soal kemandirian energi, namun kemauannya harus berangkat dari grassroots, ya, langsung dari desa,” ucapnya dengan penuh penekanan.
Selanjutnya, Alvin memberikan solusi konkret. Ia sangat menganjurkan agar proyek PLTS ini dikelola secara off-grid atau independen tanpa harus terhubung ke jaringan listrik nasional (PLN). Manfaatnya akan langsung terasa, karena dengan model ini, pengelolaan operasional dan pemeliharaannya bisa diserahkan sepenuhnya kepada entitas lokal seperti koperasi itu sendiri atau Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Dengan demikian, masyarakat merasa memiliki dan bertanggung jawab penuh atas aset tersebut.
Di sisi lain, Alvin juga menambahkan bahwa PLTS sebenarnya jauh lebih relevan untuk diterapkan di daerah-daerah terpencil yang selama ini masih bergantung pada generator diesel. Selain lebih murah dari segi biaya operasional, PLTS juga jelas-jelas lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.
“Ini menjadi pintu masuk yang sangat fleksibel untuk pengembangan energi terbarukan. Khususnya di daerah-daerah terpencil, saingannya pada dasarnya hanya diesel. Dan kita semua tahu, diesel itu tidak sustainable, baik secara lingkungan maupun ekonomi,” jelasnya dengan lugas.
Terakhir, dari segi fleksibilitas, PLTS juga dianggap jauh lebih unggul dibandingkan sumber energi terbarukan lainnya. Alasannya sangat sederhana, teknologi surya bisa dengan mudah ditempatkan hampir di seluruh wilayah Indonesia yang terkenal akan sinar mataharinya yang melimpah. Peluang emas ini tidak boleh disia-siakan hanya karena kesalahan dalam model pengelolaannya.
Dapatkan juga berita teknologi terbaru hanya di newtechclub.com