Berita  

Desain Modular, Solusi Cerdas untuk Selamatkan Halte dari Risiko Demonstrasi!

Kondisi Halte Senayan Bank DKI yang akan diperbaiki,

Exposenews.id – Pemerhati Transportasi Muhammad Akbar baru saja mengeluarkan pernyataan yang bikin heboh! Menurutnya, Indonesia harus segera mendesain halte dengan konsep modular. Tujuannya jelas: agar halte bisa siap menghadapi risiko kerusuhan yang mungkin terjadi. Jadi, bayangin aja, halte yang gampang diganti bagian-bagiannya kalau ada yang rusak.

Tak cuma itu, halte modular ini juga harus punya spesifikasi khusus, yaitu tahan api dan anti-vandal. Dengan begitu, halte jadi lebih bandel dan nggak gampang hancur. Akbar nggak cuma ngomongin material, lho. Dia juga nekankan bahwa kamera pengawas tersembunyi, sistem pengamanan yang melibatkan komunitas, dan peran serta warga sekitar itu sangat-sangat penting.

“Ketahanan bukan cuma urusan material belaka, tapi juga urusan relasi sosial. Pada saat warga merasa memiliki, mereka secara otomatis akan menjaga,” ungkap Akbar dalam siaran persnya yang dikeluarkan pada Selasa (2/9/2025).

Halte Harus Kuat, Bukan Cuma Cantik!

Selanjutnya, Akbar bilang bahwa halte itu harus kokoh dan berbasis komunitas. Maksudnya, halte nggak boleh cuma jadi struktur fisik yang indah dipandang, tapi juga harus menjadi ruang publik yang kuat secara sosial dan tangguh dalam menghadapi berbagai risiko.

Memang, sebagian halte di Indonesia sekarang ini terlihat cantik, futuristik, bahkan sangat “Instagramable”. Namun, sayangnya, dari sisi teknis, halte-halte tersebut mungkin belum disiapkan untuk menghadapi risiko kerusuhan.

“Bahan kaca, akrilik, dan berbagai komponen elektronik itu sangat rentan dirusak. Bahkan, nggak butuh alat berat untuk menghancurkannya,” tambah dia lagi.

Oleh karena itu, kita perlu melakukan evaluasi yang sangat serius terhadap desain halte dan juga fasilitas publik lainnya. Soalnya, infrastruktur kota itu nggak cuma perlu indah, tapi juga harus tangguh dalam menghadapi situasi darurat.

Jaga Halte, Itu Tanggung Jawab Kita Semua!

“Halte bukan cuma milik pemerintah aja. Ia adalah milik semua orang, mulai dari pekerja, pelajar, ibu rumah tangga, sampai para lansia,” tambah dia.

Jadi, kalau ada yang merusak halte, itu bukan cuma soal kerugian material aja, tapi juga bisa mencederai martabat kota: yaitu harga diri sebuah ruang hidup bersama.

Dengan menjaganya, berarti kita juga menjaga diri kita sendiri karena halte adalah titik temu harian dan ruang tunggu yang menyatukan berbagai latar belakang.

Perusakan halte sebenarnya cuma gejala dari persoalan yang lebih kompleks: yaitu ketimpangan sosial, kegagalan komunikasi, dan kerapuhan saluran aspirasi.

“Solusinya nggak cukup cuma dengan membangun kembali struktur fisiknya aja. Kita perlu memulihkan rasa percaya, memperkuat keterlibatan sosial, dan menjadikan halte sebagai simbol kehadiran negara yang manusiawi,” sambung Akbar.

Baca Juga: 22 Halte Transjakarta Rusak! Kerugian Rp 41,6 M Akibat Kerusuhan yang Mengguncang Jakarta

Kota yang benar-benar berpihak pada warganya itu dimulai dari halte yang kokoh secara fisik, nilai sosial, dan tentunya representatif.

Merawat halte adalah tanggung jawab kita bersama. Dari halte, kita bisa mulai membangun ulang kepercayaan yang sempat retak antara warga, ruang publik, dan negara.

Halte dan JPO Itu Cerminan Negara yang Paling Kasatmata!

Halte dan JPO (Jembatan Penyeberangan Orang) adalah representasi negara yang paling kasatmata. Mereka mudah dijangkau dan tersebar di jalan-jalan utama, tapi sayangnya minim penjagaan.

“Beda banget sama gedung pemerintah atau markas kepolisian yang dilindungi dengan sangat ketat, halte justru berdiri tanpa pagar, tanpa kawat berduri, dan tanpa aparat bersenjata,” tambah dia.

Alhasil, ketika kemarahan massa sedang menggelegak, halte langsung jadi simbol yang paling mudah dimasuki, mudah dirusak, dan penuh dengan makna.

Menurut Akbar, halte menjadi ruang paling dekat untuk menyalurkan kekecewaan yang tidak tersampaikan.

Dalam psikologi sosial, kemarahan yang nggak bisa dilampiaskan langsung kepada sasaran utama, akhirnya sering banget mencari pelampiasan yang lebih dekat dan lebih lemah.

Fasilitas umum seperti halte, jembatan penyeberangan orang (JPO), atau gerbang tol (GT) sering jadi “sasaran empuk” ketika gedung DPR atau kantor kementerian nggak bisa dijangkau.

Apalagi di tengah kerumunan yang lagi panas dan penuh emosi, simbol pelayanan publik bisa berubah jadi objek protes tanpa arah.

“Dalam kerumunan besar, identitas personal jadi memudar. Setiap individu merasa bebas dari tanggung jawab,” lanjutnya.

Rasa aman karena “tidak dikenali” akhirnya mendorong tindakan yang sulit dilakukan sendirian.

“Satu orang melempar batu, yang lain langsung ikutan. Aksi menyebar dengan cepat seperti api. Nggak terencana, nggak terkendali. Norma kelompok tiba-tiba berubah: perusakan jadi tindakan bersama,” lanjutnya.

Visual halte yang terbakar dan jembatan yang rusak akhirnya menciptakan kesan dramatis. Hal-hal seperti ini mudah banget viral dan cepat menyebar.

Dapatkan juga berita teknologi terbaru hanya di newtechclub.com