Berita  

Viral 17+8 Tuntutan Rakyat! Ini Dampak Mengerikan Jika Pemerintah Abai

Memahami arti warna pink dan hijau dalam 17+8 Tuntutan Rakyat yang ramai di media sosia

Exposenews.id – Warga pun ramai-ramai membagikan unggahan viral bertajuk “17+8 Tuntutan Rakyat” di berbagai platform media sosial. Sebenarnya, beberapa influencer ternama, seperti Jerome Polin dan Salsa Erwina, memformulasikan tuntutan ini sebagai rangkuman aspirasi masyarakat yang sedang bergolak. Aksi demonstrasi pun akhirnya merebak ke berbagai penjuru tanah air, menandakan sebuah kekecewaan yang mendalam.

Tuntutan rakyat tersebut bukan hanya sebatas wacana, melainkan mencakup poin-poin krusial seperti pencegahan PHK massal, kepastian upah layak untuk seluruh pekerja (termasuk mitra ojol, guru, dan buruh), hingga audit DPR yang transparan dan hasilnya harus dibuka ke publik. Selain itu, imbas kericuhan dalam aksi unjuk rasa memaksa platform TikTok mematikan sementara fitur live-nya. Akibatnya, para pelaku usaha di TikTok Shop langsung merasakan pukulan telak berupa penurunan penjualan yang signifikan.

Lantas, apa saja dampak mengerikan yang akan terjadi jika pemerintah tidak kunjung menepati 17+8 tuntutan rakyat? Simak penjelasan para ahli berikut ini!

Penjelasan Ekonom: Dampak Ekonomi dan Krisis Kepercayaan

Seorang ekonom ternama dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai gelombang demonstrasi terkini memiliki justifikasi yang kuat sebagai bentuk protes terhadap kehidupan rakyat yang semakin sulit. Di sisi lain, para elit dan wakil rakyat justru terlihat hidup secara hedonis dengan menghambur-hamburkan uang rakyat. Oleh karena itu, Wijayanto dengan tegas menyatakan bahwa 17+8 tuntutan rakyat itu sangat realistis dan berdasar, sehingga pemerintah harus menjadikannya masukan penting untuk meluruskan kembali arah pembangunan bangsa.

“Kita semua tahu, kerugian material dari demo masif ini adalah kerusakan berbagai fasilitas publik yang nilainya bisa mencapai triliunan rupiah,” jelas Wijayanto saat dihubungi pada Selasa (2/9/2025). Namun, dia memperingatkan bahwa kerugian terbesar justru berasal dari terhambatnya roda ekonomi dan anjloknya kredibilitas Indonesia sebagai destinasi investasi dan bisnis yang aman di mata dunia.

Menurutnya, skenario terburuk yang akan kita hadapi jika tuntutan tidak segera dipenuhi adalah munculnya gelombang ketidakpercayaan (distrust) yang sangat besar terhadap pemerintah dan semua institusinya. Krisis kepercayaan ini pada akhirnya bisa memicu instabilitas politik yang berkepanjangan.

Kerugian Ekonomi dan Investasi Mengintai

Sejalan dengan itu, Direktur Eksekutif Center of Economic Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, juga memaparkan pendapatnya. Bhima memprediksi kerugian ekonomi akan membengkak sangat besar apabila pemerintah terus mengabaikan tuntutan masyarakat. Dia membeberkan bahwa aktivitas produksi berbagai sektor industri bisa terganggu parah. Selain itu, nilai Rupiah berpotensi melemah drastis sehingga memicu kenaikan harga semua kebutuhan pokok yang semakin memberatkan rakyat kecil.

Tidak berhenti di situ, perusahaan-perusahaan besar juga berpotensi menunda perekrutan pegawai baru bahkan melakukan PHK akibat tingginya ketidakpastian politik dan ekonomi. “Situasi saat ini, tanpa adanya jalan keluar yang kongkrit dari pemerintah, sudah pasti memengaruhi penilaian investor dan mitra luar negeri terhadap risiko politik di Indonesia,” tegas Bhima saat dihubungi secara terpisah, Selasa.

Bhima menambahkan, roda ekspor Indonesia juga akan terkena imbas negatifnya. Hal ini disebabkan oleh potensi kenaikan biaya logistik akibat penutupan jalan-jalan utama yang sering terjadi selama demonstrasi berlangsung.

Desakan Pembentukan Tim Independen dan Solusi Kongkrit

Oleh karena itu, Bhima dengan lantang menilai pemerintah harus segera memenuhi tuntutan masyarakat sebelum segalanya terlambat. “Celios mendesak Pemerintah untuk segera membentuk tim independen yang khusus menangani dan memenuhi tuntutan masyarakat. Mengingat aksi sudah merebak di berbagai daerah, kita harus paham bahwa masalah utamanya adalah soal ekonomi,” jelas dia dengan gamblang.

Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa inti permasalahan ekonomi ini menyangkut reformasi pajak yang dirasa sangat tidak adil bagi kelompok menengah ke bawah. Menurut dia, pemerintah seharusnya sudah menurunkan tarif PPN dari 11 persen menjadi 8 persen untuk mencegah daya beli masyarakat yang semakin merosot tajam.

“Pemerintah harus segera mendorong pembahasan pajak kekayaan atau Wealth Tax, kalau perlu menggunakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) untuk mempercepat implementasinya,” tutur dia dengan serius. Bhima juga menyarankan pemerintah untuk fokus menutup kebocoran pajak dari industri ekstraktif yang selama ini menggerogoti pendapatan negara, bukan malah mengejar setoran pajak dari warung eceran kecil. Sebab, tanpa perluasan basis pajak yang adil, investor akan membaca bahwa kenaikan target pajak 13 persen di tahun 2026 hanya akan membebani sektor informal dan menengah.

Dapatkan juga berita teknologi terbaru hanya di newtechclub.com