Berita  

Gedung Grahadi Surabaya: Menyimpan Sejarah Panjang yang Terbakar

Gedung Grahadi di Surabaya, dibakar massa

Exposenews.id Sebuah tragedi melanda Kota Pahlawan! Pada Sabtu malam (30/8/2025), massa yang berang membakar bagian barat Gedung Grahadi Surabaya, sebuah ikon bersejarah yang telah berdiri megah selama berabad-abad. Peristiwa ini tentu saja menyentak seluruh masyarakat. Berdasarkan pantauan langsung di lokasi pukul 22.53 WIB, “Si Jago Merah” terlihat jelas melalap bagian dari bangunan cagar budaya tersebut. Aksi ini ternyata berawal dari unjuk rasa massa yang menuntut pembebasan rekannya yang sebelumnya ditangkap oleh Polrestabes Surabaya sejak Jumat (29/8/2025).

Sebelum Jadi Korban Pembakaran, Ini Dia Sejarah Megah Gedung Grahadi

Nah, sebelum insiden pembakaran ini terjadi, Gedung Grahadi atau yang juga dikenal sebagai Gedung Negara Grahadi sudah lebih dulu menjadi simbol kemegahan Surabaya. Lokasinya yang strategis di Jalan Gubernur Suryo, Embong Kaliasin, Kecamatan Genteng, membuatnya mudah dikenali. Selain berstatus sebagai bangunan cagar budaya yang dilindungi, gedung ini saat ini juga berfungsi sebagai Rumah Dinas Gubernur Jawa Timur, tempat pemimpin provinsi beraktivitas dan menerima tamu-tamu penting.

Dibangun di Era VOC, Begini Awal Mula Berdirinya Grahadi

Mari kita telusuri lebih dalam sejarahnya! Merujuk pada kajian mendalam berjudul “Kajian Sejarah dan Identifikasi Komponen Teknis Bangunan Cagar Budaya Gedung Grahadi” yang disusun oleh Dinas Perumahan Rakyat Kawasan Permukiman dan Cipta Karya Provinsi Jawa Timur bersama Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya pada 2024, Gedung Grahadi utama ternyata dibangun pada tahun 1795, di akhir abad ke-18. Pembangunannya tidak lepas dari suasana politik saat itu. Pasalnya, Belanda (VOC) baru saja berhasil menguasai wilayah Keraton Surabaya yang sebelumnya bersekutu dengan Trunojoyo dari Madura untuk melawan Mataram. Setelah melalui pengepungan yang sangat alot, VOC akhirnya berhasil menang dan menguasai Jawa bagian timur sebagai bentuk balas jasa atas bantuannya kepada Mataram. Selanjutnya, VOC pun menunjuk seorang penguasa baru untuk wilayah timur yang berkedudukan di Surabaya.

Arsitektur Oud Holland Stijl dan Nama “Tunhuis” yang Terlupakan

Lalu, VOC menunjuk Dirk van Hogendorp sebagai penguasa. Dia kemudian membeli sebidang tanah di selatan kota yang pada masa itu masih sangat sepi dan asri. Tanah yang sebelumnya dimiliki seorang pedagang ini terletak persis di tepi sungai dengan pemandangan yang memukau. Di atas lahan itulah, Dirk akhirnya membangun sebuah rumah peristirahatan mewah yang dikelilingi oleh taman sangat luas. Karena keindahan tamannya, masyarakat kemudian menyebut rumah ini sebagai “tuinhuis” yang berarti rumah taman. Arsitektur bangunannya mengadopsi langgam Oud Holland Stijl (Gaya Lama Belanda) dan sengaja dirancang menghadap ke Kalimas karena sungai itu merupakan urat nadi transportasi utama saat jalan raya masih belum berkembang. Untuk menikmati pemandangan sungai, dibangunlah sebuah balkon besar di gedung utama. Bayangkan, kala itu lingkungan sekitar Gedung Grahadi masih dipenuhi tanah kosong dan pepohonan rimbun yang menyejukkan. Perlu kamu tahu, Gedung Grahadi tidak berdiri sendiri; sudah ada bangunan penunjang di sayap barat dan timur yang memiliki fungsi yang sangat berbeda dengan zaman sekarang.

Revolusi Gaya Arsitektur di Masa Daendels dan Gaya Empire Style

Selanjutnya, pergolakan politik di Eropa turut mempengaruhi nasib gedung ini. Pada awal abad ke-18, Napoleon Bonaparte dari Prancis berhasil menguasai hampir seluruh Eropa, termasuk Belanda dan seluruh jajahannya. Alhasil, Hindia-Belanda pun secara tidak langsung berada di bawah kekuasaan Prancis. Napoleon lantas mengutus Herman Willem Daendels, seorang Belanda, untuk menjadi Gubernur Jenderal baru. Pada masa Daendels inilah, Gedung Grahadi mengalami perubahan signifikan. Dia merasa bentuk atap bergaya Oud Holland Stijl terlihat kurang megah. Akhirnya, dia memerintahkan untuk mengganti atapnya dengan langgam Empire Style yang lebih modern dan berwibawa serta dianggap lebih mencerminkan kemegahan sebuah istana kerajaan. Tidak hanya atap, orientasi bangunan pun diubah; tidak hanya menghadap sungai, tetapi juga lebih menekankan pada arah jalan di depannya. Desain atap hasil perubahan Daendels inilah yang kemudian bertahan selama berabad-abad, menjadi ciri khas dan identitas unik Gedung Grahadi yang kita lihat hingga detik ini sebelum peristiwa pembakaran terjadi.

Transformasi Fungsi: Dari Rumah Peristirahatan hingga Kantor Gubernur

Seiring berjalannya waktu, fungsi gedung ini pun terus berevolusi. Sejak tahun 1870, Pemerintah Kolonial secara formal menetapkan Gedung Grahadi sebagai kediaman resmi Residen Surabaya yang wilayah kekuasaannya meliputi Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Jombang, dan Mojokerto. Sebagai rumah dinas, tentu Grahadi membutuhkan penambahan ruang untuk menunjang sistem administrasi yang semakin kompleks. Fungsi strategisnya sebagai rumah dinas Gubernur Jawa Timur terus berlanjut tanpa terputus, melewati masa penjajahan Jepang (1942-1945) hingga pasca kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945 sampai sekarang.

Kini, gedung yang menyaksikan begitu banyak babak sejarah Indonesia itu harus menghadapi ujian baru. Posisinya yang strategis di Jalan Gubernur Suryo tidak hanya membuatnya menjadi rumah dinas, tetapi juga sebagai tempat penyelenggaraan acara-acara kenegaraan dan penting tingkat provinsi. Peristiwa pembakaran ini tentu menjadi catatan kelam dan pengingat bagi semua pihak tentang betapa berharganya warisan sejarah dan betapa pentingnya untuk menjaganya. Gedung Grahadi bukan sekadar tumpukan batu bata, melainkan saksi bisu perjalanan panjang bangsa yang patut kita lestarikan bersama.

Dapatkan juga berita teknologi terbaru hanya di newtechclub.com