JAKARTA, Exposenews.id – Pasar Ular di Rawa Badak, Koja, Jakarta Utara, perlahan tapi pasti seperti “terengah-engah” menahan napas. Dahulu, pasar ini jadi “surga belanja” ratusan pedagang yang menggantungkan hidup di sini. Kini? Geliatnya kian redup, bahkan banyak yang “angkat kaki” meninggalkan lapak mereka.
Pasar ini punya tiga lorong yang dulu dipadati 250-an pedagang, baik yang berjualan di kios maupun kaki lima. Tapi lihat sekarang! Hampir 65% lapak sudah “tutup buku”, seakan tak ada harapan lagi. Sisanya, yang masih bertahan, cuma mengandalkan satu dua pembeli yang kadang cuma “cuci mata” tanpa beli apa-apa.
Dari Pejabat Hingga Artis: Dulu Ramai, Sekarang Sepi!
Beberapa pedagang yang masih bertahan curhat, kondisi Pasar Ular sekarang “jauh panggang dari api” dibanding era 1990-an. “Waktu jaya-jayanya, pejabat sampai artis papan atas rela antre belanja di sini!” ujar Alfons, pedagang ikat pinggang yang sudah puluhan tahun berjualan di sini.
Alfons mengenang betapa “glamor”-nya Pasar Ular di masa keemasan. “Zaman Pak Harto sampai SBY, rame banget! Artis-artis, pelawak, semua pada dateng. Kita cuma jual baju, tapi barangnya langsung impor dari luar negeri lewat Pelabuhan Tanjung Priok!”
Kala itu, Pasar Ular jadi “surga barang branded murah”. Barang-barang bermerek lebih dulu muncul di sini sebelum masuk mal-mal mewah Jakarta. “Sekarang? Nggak ada lagi yang mau datang. Pembeli biasa aja jarang, apalagi artis!” keluhnya.
Omzet Jeblok! Dari Jutaan per Hari, Kini Cuma Rp100 Ribuan
Kalau dulu Alfons bisa “cetak” omzet Rp1,5–2 juta per hari, sekarang? “Bisa nol rupiah! Sebulan nggak sampai Rp500 ribu,” ujarnya prihatin. Nasib serupa dialami Adjat (48), pedagang dompet yang sudah 20 tahun berjualan di sini.
“Dulu kaki lima bisa dapat Rp3–4 juta sehari. Sekarang cuma Rp80–100 ribu. Kios? Wah, zaman dulu omzetnya Rp20–30 juta per hari!” Adjat menghela napas.
Pasar Kalah Telak oleh Online Shop: “Kita Nggak Bisa Lawan!”
Apa penyebabnya? “Toko online menghancurkan kita!” seru Alfons. “Mereka jual lebih murah, barang diantar sampai depan rumah. Orang mager (males gerak), nggak perlu ke pasar lagi!”
Adjat mengaku “tersingkir” karena gagap teknologi. “Mau jualan online, tapi nggak paham caranya. Akhirnya ya gigit jari,” ujarnya.
Tetap Bertahan Meski Hidup Serba Sulit
Meski penghasilan “kering kerontang”, beberapa pedagang memilih bertahan. Alfons masih setia buka lapak dari jam 9 pagi sampai 5 sore. “Mau cari kerja lain? Umur sudah tua, mana ada yang mau terima. Ya terpaksa bertahan!”
Pemerintah Diminta Turun Tangan: “Menteri Banyak, Tapi Solusi Mana?”
Pedagang berharap pemerintah “turun gunung” beri solusi. “Sekarang menteri banyak, tapi kebijakan buat rakyat kecil seperti kami di mana?” tanya Alfons frustasi.
Mereka ingin ada “angin segar”, misalnya pelatihan digital atau bantuan modal. “Jangan cuma bagi-bagi janji. Kami butuh aksi nyata!”
Nasib Pasar Ular: Akankah Bangkit atau Tinggal Kenangan?
Pasar Ular kini seperti “hidup segan, mati tak mau”. Dulu jadi “ikon belanja murah”, sekarang terancam punah. Jika tidak ada perubahan, bukan tidak mungkin pasar legendaris ini hanya akan jadi “catatan sejarah” belaka.
“Kalau begini terus, kami bisa mati pelan-pelan,” ujar Alfons. “Kami butuh uluran tangan, bukan sekadar simpati!”
Baca Juga: Aneh! Anggota DPR Izin Tapi Dianggap Hadir, Rapat Paripurna Hanya 71 Orang