Exposenews.id – Prestasi bulu tangkis Indonesia sedang mengalami penurunan drastis, dan ini menjadi masalah serius bagi Pengurus Pusat PBSI. Fakta mengejutkan: sepanjang 2025, belum satu pun atlet Indonesia berhasil menjuarai turnamen BWF level tinggi seperti Super 500, 750, atau 1000—termasuk saat menjadi tuan rumah di Indonesia Open awal Juni lalu. Lalu, apa sebenarnya yang terjadi?
Masalah Utama: Komunikasi Atlet vs. Pelatih yang Mandek
Eng Hian, Kepala Bidang Pembinaan PBSI, mengungkapkan bahwa salah satu akar masalahnya adalah “komunikasi yang tidak lancar” antara atlet dan pelatih. Seharusnya, kedua belah pihak bisa bersinergi dalam menjalankan program pertandingan. Namun, nyatanya, banyak atlet yang justru merasa lebih tahu daripada pelatihnya.
“Ada pemain yang menganggap dirinya pemain top. Ini kan tidak boleh!” tegas Eng.
Pelatih Minim Jam Terbang, Atlet Meremehkan
Eng Hian juga menyoroti masalah klasik: banyak pelatih yang kurang pengalaman dalam menangani atlet elite. Akibatnya, beberapa pemain justru meremehkan arahan pelatih. Untuk mengatasi ini, PBSI berencana mengatur program turnamen berdasarkan kemampuan masing-masing atlet—bukan sekadar mempertahankan peringkat, tapi mengejar gelar juara.
“Dalam 6 bulan ke depan, kami akan mengirim atlet sesuai kapasitas mereka, dengan target jelas: menang!” tambahnya.
Regenerasi Tanpa Tekanan Berlebihan
PBSI juga sedang mempersiapkan program regenerasi, tetapi dengan pendekatan berbeda. Mereka tidak akan menuntut pemain muda langsung meraih gelar. Tujuannya? Menjaga kesehatan fisik dan mental atlet agar memiliki karier yang panjang.
“Proses perkembangan atlet bulu tangkis tidak seperti matematika. Banyak faktor yang memengaruhi, jadi kami tidak ingin terburu-buru,” jelas Eng, yang pernah meraih medali perunggu Olimpiade 2004.
Evaluasi Ketat: Siapa yang Naik Kelas, Siapa yang Turun?
PBSI akan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap atlet yang sudah lebih dari 5 tahun di pelatnas. Keputusan tegas akan diambil: siapa yang layak dipromosikan, dan siapa yang harus “degradasi”.
Dukungan dari Pengamat: Pelatih Harus Kuasai Psikologi Atlet
Fritz Simanjuntak, pengamat bulu tangkis, mendukung langkah PBSI. Menurutnya, kunci sukses ada di tangan pelatih—mereka harus bisa masuk ke psikologi pemain, bukan hanya sekadar memberi instruksi teknis.
“Badminton itu olahraga individu. Kalau pelatih tidak bisa baca pikiran atlet, ya susah menang!” ujar Fritz.
Ia juga menyarankan agar PBSI melibatkan psikolog untuk membantu atlet mengatasi masalah mental, termasuk rasa “jemawa” karena menganggap diri sudah hebat.
Kesalahan PBSI: Kurangnya Pelatih Berpengalaman
Fritz tidak segan menyoroti kelemahan PBSI dalam memilih pelatih. “Banyak pelatih luar negeri yang jauh lebih kompeten. PBSI harus lebih selektif!” tegasnya.
Solusi Jitu: Sinergi Total antara Pelatih dan Atlet
Kesimpulannya, komunikasi efektif dan pelatih berkualitas adalah kunci utama. Jika PBSI bisa memperbaiki dua hal ini, bukan tidak mungkin Indonesia akan kembali ke puncak kejayaan bulu tangkis dunia!
Jadi, apakah PBSI bisa bangkit dari keterpurukan ini? Semuanya tergantung pada langkah konkret mereka dalam 6 bulan ke depan!