Exposenews.id – Gempar! Aktivitas tambang nikel di Raja Ampat, Papua, tiba-tiba viral dan memicu gelombang protes. Padahal, kawasan ini terkenal sebagai surga wisata dan geopark dunia yang diakui PBB. Ironisnya, kebijakan ekonomi kita masih sering mengabaikan kelestarian lingkungan dan budaya demi keuntungan sesaat. Padahal, sektor pertambangan sebenarnya bisa menjadi penopang ekonomi, asalkan tidak merusak alam dan mengorbankan masyarakat lokal.
Tambang: Kontributor Besar atau Bencana Terselubung?
Sektor tambang memang menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia. Di kuartal pertama 2025 saja, investasi pertambangan menyumbang 10,45% dari total investasi nasional. Angka ini hampir sama dengan tahun sebelumnya: 10,78% (2024) dan 11,3% (2022). Bahkan di masa pandemi, industri ini tetap menjadi penyelamat devisa negara.
Tapi, ada yang janggal! Kementerian Investasi/BKPM selalu melaporkan investasi tambang secara terpisah. Ini membuktikan bahwa pemerintah serius mengelola sumber daya mineral dan batu bara, baik dari hulu ke hilir. Fakta ini diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025 yang mendorong industrialisasi tambang.
Aturan Ketat Tapi Prakteknya? Banyak Bolongnya!
Di atas kertas, perusahaan tambang wajib mematuhi aturan lingkungan dan sosial. Contohnya, UU Nomor 40 Tahun 2007 dan UU Cipta Kerja mewajibkan AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan) sebelum izin tambang dikeluarkan. Artinya, seharusnya tidak ada lagi tambang liar atau eksploitasi sembarangan.
Tapi kenyataannya? Banyak perusahaan mengabaikan dampak lingkungan dan sosial. Padahal, pertambangan bukan sekadar urusan ekonomi, melainkan juga keadilan bagi masyarakat adat dan keberlanjutan ekosistem. Yang lebih parah, ketimpangan penguasaan sumber daya alam masih dikuasai segelintir elite.
Jebakan Investasi Tambang: Negara Rugi, Pengusaha Untung
Investasi tambang terlihat menggiurkan, tapi hati-hati! Sektor ini rawan jadi ladang rente ekonomi dan korupsi. Contoh nyata, Pasal 128A ayat 2 UU Cipta Kerja memberi pembebasan royalti bagi perusahaan yang melakukan hilirisasi. Duh, siapa yang diuntungkan? Pengusaha! Sementara negara kehilangan pendapatan miliaran rupiah.
Parahnya lagi, insentif ini bisa memicu investasi semu. Perusahaan hanya mencari untung tanpa memberi kontribusi nyata. Padahal, sumber daya alam harusnya untuk rakyat, bukan dikeruk segelintir orang.
Fakta Mencengangkan: Penerimaan Negara Tergantung Tambang, Tapi…
Data Kementerian ESDM 2024 mengungkapkan, mineral dan batu bara menyumbang Rp 140,66 triliun (52%) dari total pendapatan sektor energi. Hebatnya, angka ini lebih besar dari pendapatan migas!
Tapi di balik angka fantastis itu, program hilirisasi batu bara ternyata gagal total. Pemerintah sudah mewajibkan tujuh perusahaan besar memproses bahan mentah di dalam negeri. Lalu mengapa masih memberi insentif, sementara mereka tidak memenuhi kewajiban?
Insentif atau Bumerang? Negara Bisa Bangkrut!
Pemerintah berharap hilirisasi bisa mendongkrak ekonomi. Tapi jangan salah! Jika insentif malah mengurangi pendapatan negara, apa gunanya? Lebih baik pendapatan nyata daripada iming-iming keuntungan yang belum pasti.
Celakanya, insentif berlebihan justru menjauhkan rakyat dari kekayaan alamnya. Elite tambang sudah terlalu lama menikmati keuntungan, sementara rakyat hanya dapat dampak buruknya. Sudah waktunya beralih ke industri ramah lingkungan yang memberi nilai tambah nyata.
Krisis Lingkungan: Hutan Hilang, Negara Makin Terpuruk
Nyatanya, pertambangan terus merusak lingkungan. Data TreeMap mencatat, selama 2001-2023, tambang membabat 721 ribu hektare hutan. Bahkan, Walhi memprediksi deforestasi bisa mencapai 600 ribu hektare pada 2025. Gila, kan?
Ini bukan cuma soal etika, tapi juga logika ekonomi. Jika hutan terus musnah, Indonesia bisa kehilangan insentif global, seperti pendanaan untuk pelestarian hutan tropis. Jelas-jelas rugi dua kali!
Target Ekonomi 8%: Mimpi atau Bencana?
Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 8%. Tapi kalau pendapatan negara terus dikorbankan demi insentif tambang, mungkinkah target pertumbuhan 8% tercapai? Pemerintah harus mewujudkan hilirisasi secara konkret—bukan sekadar janji manis di atas kertas!.
Ekspor bahan mentah terus melonjak, tetapi pemerintah terus memanjakan pengusaha dengan keringanan. Kapan industri hilirnya benar-benar maju? Kita harus menjadikan hilirisasi sebagai strategi nasional yang nyata, bukan sekadar pencitraan semata!
Pertanyaan Besar: Ekonomi untuk Rakyat atau Korporasi?
Inilah saatnya kita bertanya: Apakah kebijakan ekonomi kita masih berpihak pada rakyat dan lingkungan? Atau justru makin terperangkap dalam eksploitasi tanpa henti?
Jangan sampai, kita baru tersadar ketika alam sudah hancur dan negara bangkrut. Sudah waktunya pemerintah tegas dan bijak mengelola tambang untuk kemakmuran rakyat, bukan segelintir orang!