Exposenews.id – Polisi Republik Indonesia (Polri) terus gagal memperbaiki reputasinya yang tercoreng belakangan ini. Alih-alih fokus menegakkan hukum dan menjaga keamanan, mereka justru sibuk membangun pencitraan lewat konten-konten media sosial. Padahal, publik sudah muak dengan kinerja aparat yang kerap dianggap lamban dan tidak profesional.
Divisi Humas Polri baru saja meluncurkan PoliceTube.com, sebuah platform mirip YouTube yang menampilkan kinerja kepolisian dalam bentuk video. Dengan berbagai fitur menarik, kanal ini menampilkan beragam konten, mulai dari rilis kasus terkini, materi edukasi yang informatif, kisah inspiratif yang mengharukan, hingga acara seremonial megah yang mencakup seluruh jenjang kepolisian—mulai dari tingkat Polsek yang paling dasar hingga Mabes Polri sebagai puncak komando.
Banyak pihak menilai PoliceTube hanya proyek pencitraan yang menghabiskan anggaran besar. Padahal, Polri sudah memiliki banyak akun media sosial dengan jutaan pengikut, seperti @DivHumas_Polri di X (2,2 juta followers) dan @polisi_indonesia di Instagram (4,3 juta followers).
Efisiensi vs Pencitraan
Sebenarnya, akun-akun yang sudah ada sudah lebih dari cukup untuk menyebarkan informasi. Nyatanya, tanpa perlu menggelontorkan miliaran rupiah untuk server dan maintenance, Polri sebenarnya bisa tetap aktif di media sosial secara gratis. Yang lebih memprihatinkan, langkah ini justru bertolak belakang dengan janji Prabowo Subianto soal penghematan anggaran.
Publik Butuh Aksi, Bukan Konten
Faktanya, masyarakat sama sekali tidak membutuhkan video-video seremonial atau konten pencitraan. Yang mereka inginkan justru polisi yang bekerja profesional—tanpa pandang bulu menindak kejahatan dan membersihkan institusi dari oknum nakal. Polri harus membangun reputasi dengan tindakan nyata, bukan sekadar konten pencitraan!
Skandal yang Merusak Kepercayaan
Contoh nyatanya, kasus Ferdy Sambo dan Teddy Minahasa membuktikan betapa ulah oknum polisi bisa dalam sekejap meruntuhkan kepercayaan publik! Stigma ‘Parcok’ (Partai Coklat) yang melekat kuat pasca-Pemilu 2024 semakin memperjelas fakta: Polri memang sering menjadi alat politik.
Oleh karena itu, Polri harus segera berhenti berfokus pada pencitraan dan beralih ke membersihkan barisan. Pertama, tindakan tegas terhadap polisi nakal mutlak diperlukan. Kedua, pemberantasan narkoba dan korupsi tidak boleh setengah hati. Polri wajib menjaga netralitas politik jika benar-benar serius ingin memulihkan kepercayaan publik.
Pada akhirnya, masyarakat tidak ingin sekadar melihat konten, melainkan bukti kerja nyata. Sekali lagi, Polri harus ingat: reputasi hanya bisa dibangun melalui tindakan, bukan dengan mengejar likes dan views!