Exposenews.id – Ketegangan geopolitik di Timur Tengah kembali memanas dan menyedot perhatian global. Kali ini, stabilitas kawasan ini tidak hanya memengaruhi politik regional, tetapi juga mengancam kelancaran arus logistik dunia. Parlemen Iran baru saja mengambil langkah drastis dengan menyetujui penutupan Selat Hormuz sebagai balasan atas serangan militer Amerika Serikat yang menghancurkan tiga fasilitas nuklir utama mereka. Langkah ini bukan sekadar ancaman simbolis—ini adalah eskalasi serius yang berpotensi mengacaukan pasokan energi global (*Kompas, 23/0/2025*).
Selat Hormuz: Titik Rawan yang Mengendalikan Pasar Energi
Selat Hormuz, meski hanya selebar 33 kilometer, memegang peran krusial dalam perdagangan global. Setiap hari, sekitar 20% minyak mentah dunia dan 25% gas alam cair (LNG) melintas di sini (Lloyd’s List Intelligence, 2024). Bahkan, hampir 30% ekspor minyak global via laut bergantung pada selat sempit ini. Sebagai perbandingan, Selat Malaka—jalur alternatif utama—justru menangani lebih dari 25% total perdagangan maritim dunia. Artinya, jika Selat Hormuz benar-benar ditutup, dampaknya tidak hanya terasa di Timur Tengah, tetapi akan mengguncang seluruh rantai pasok global.
Efek Domino: Kenaikan Biaya dan Pencarian Jalur Alternatif
Situasi yang semakin tidak stabil di Selat Hormuz memaksa perusahaan pelayaran mengambil langkah darurat. Banyak kapal tanker ditarik dari rute Teluk Persia, sementara tarif angkutan melonjak hingga 20%. Premi asuransi risiko perang pun meroket, mencapai tambahan $3–$8 per barel minyak. Bahkan, pemesanan kapal VLCC (Very Large Crude Carrier) anjlok drastis (Oil Price, 2025). Ini bukan lagi sekadar kekhawatiran—gejolak ini sudah mulai merusak fondasi logistik energi dunia.
Di tengah ketidakpastian, importir besar seperti India dan China mulai mempertimbangkan opsi lain, termasuk menggunakan shadow fleets (armada bayangan) atau mengalihkan rute. Namun, solusi ini tidak sepenuhnya aman. Penggunaan kapal tanker tidak terdaftar memang bisa menghindari sanksi, tetapi justru meningkatkan risiko geopolitik dan fluktuasi harga jangka panjang.
kunjungi laman MPOSAKTI
Selat Hormuz bukan hanya vital untuk minyak—selat ini juga dilalui kapal kontainer, LNG, dan pengangkut bahan pangan. Lonjakan premi asuransi di zona konflik telah memaksa banyak perusahaan menghentikan operasi, yang berujung pada keterlambatan distribusi besar-besaran. Akibatnya, koridor logistik lain seperti Terusan Suez, Bab el-Mandeb, dan terutama Selat Malaka kini menghadapi tekanan ekstra.
Selat Malaka, jalur tersibuk kedua di dunia, tiba-tiba menjadi penyelamat. Bahkan, laporan terbaru dari Marine Vessel Traffic mencatat kapal induk AS, USS Nimitz, sempat mematikan transponder dan menghilang dari pelacakan pada pertengahan Juni 2025—sebuah langkah yang memicu spekulasi baru.
baca juga: Jadwal Pertandingan Timnas Indonesia di ASEAN U23 Championship 2025, simak lengkapnya!
Dunia kini menunggu langkah berikutnya dari Iran dan AS. Jika ketegangan terus memanas, gangguan pada Selat Hormuz bisa berlangsung lama, dan efeknya akan merambat ke seluruh sektor—mulai dari kenaikan harga minyak, kelangkaan barang, hingga inflasi global. Sementara itu, negara-negara importir harus bersiap dengan strategi cadangan, karena ketergantungan pada satu jalur logistik terbukti sangat rentan.
Satu hal yang pasti: krisis ini mengingatkan kita betapa rapuhnya sistem perdagangan global ketika konflik geopolitik terjadi. Selat Malaka mungkin bisa menjadi alternatif sementara, tetapi solusi jangka panjang harus segera dirumuskan sebelum ekonomi dunia benar-benar terguncang.