Di Balik Sorak Sorai, Tersimpan Luka dan Penjara

banner 120x600

Oleh: Dr.(Cand) Heidi Kristian Repi, S.Pd.,Gr.,M.Pd

“Maka jika hari ini seseorang ditunjuk untuk menduduki kursi kekuasaan, lebih baik ia menangis dalam doa ketimbang tertawa dalam pesta.”

Mendapatkan promosi jabatan sering kali disambut dengan gegap gempita, peluk hangat, dan ucapan selamat. Di ruang-ruang kerja, senyum mengembang dan tangan-tangan menjabat erat sebuah pengakuan akan prestasi dan kepercayaan. Namun di balik kegembiraan itu, tersembunyi kenyataan yang jauh lebih rumit, bahkan gelap: tak sedikit jabatan yang berakhir dengan air mata, rasa malu, dan nama baik yang hancur.

Dalam sejarah kekuasaan, baik kecil maupun besar, selalu ada pola yang berulang: orang yang naik bukan sekadar diangkat, tapi juga sedang “diikat”. Banyak yang menduduki jabatan bukan untuk memimpin dengan bebas, tetapi menjadi pion dari struktur kekuasaan yang lebih tinggi. Di sini, jabatan bukanlah tahta, melainkan jerat. Ia tampak seperti mahkota, namun terasa seperti rantai.

Betapa sering kita menyaksikan pejabat yang dulunya dielu-elukan karena “dipercaya”, akhirnya duduk di kursi pesakitan. Mereka menjadi tameng dari kepentingan yang lebih besar, menjadi wajah yang dilempar ke publik saat badai datang. Lantas siapa yang benar-benar memegang kendali? Seringkali bukan mereka yang tampak di depan.

Jabatan adalah ujian, bukan pencapaian. Ia lebih mendekati beban daripada hadiah. Seorang pemimpin sejati tahu bahwa ia sedang mengemban tanggung jawab, bukan sedang menikmati kehormatan. Sebab semakin tinggi posisi, semakin besar pengorbanan yang harus disiapkan integritas, waktu, bahkan nama baik.

Euforia atas sebuah jabatan bisa menjadi titik awal kerapuhan. Ketika seseorang larut dalam kebanggaan atas posisi baru, ia rentan kehilangan kesadaran akan jebakan kekuasaan: tekanan untuk loyal, godaan untuk menyimpang, atau desakan untuk tunduk pada permainan yang lebih besar dari dirinya. Di sinilah banyak orang mulai kehilangan diri.

Sementara itu, dari sisi spiritualitas apa pun keyakinannya jabatan adalah amanah. Amanah itu kelak akan dipertanggungjawabkan, bukan hanya di pengadilan manusia, tapi di hadapan yang lebih tinggi. Maka jika hari ini seseorang ditunjuk untuk menduduki kursi kekuasaan, lebih baik ia menangis dalam doa ketimbang tertawa dalam pesta.

Karena sesungguhnya, terlalu banyak contoh di negeri ini di mana mereka yang naik dengan tepuk tangan, justru turun dengan caci maki. Dan ironisnya, mereka bukan selalu pelaku utama, melainkan korban sistem yang memanfaatkan loyalitas mereka sebagai perisai.

Jangan terlalu bangga saat diangkat, dan jangan terlalu larut dalam euforia ketika diberi posisi. Sebab di balik itu semua, ada risiko, ada pertaruhan, dan ada jalan panjang yang tak semua orang bisa pulang darinya dengan utuh.

Lebih baik berhati-hati dalam langkah, daripada menjadi kisah yang disesali di kemudian hari.