Exposenews.id, MINUT – Sulawesi Utara terus serius mengusulkan Kolintang sebagai salah satu warisan budaya dunia asal Bumi Nyiur Melambai kepada badan PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan (UNESCO).
Usaha yang sudah dimulai sejak 2011 di mana Kolintang sudah menjadi Warisan Budaya tak Benda (WBtB) Nasional asal Sulawesi Utara, terus digaungkan demi memastikan alat musik asli Sulawesi Utara ini, dapat menjadi Warisan Budaya Dunia di 2024.
Hal itu terungkap dalam kegiatan Napak Tilas Kolintang 3 Bilah, 5 Bilah 7 Bilah, yang digelar Balai Pelestarian Kebudayaan wilayah XVII Sulawesi Utara dan Gorontalo, yang digelar di Lembean, Minahasa Utara, Senin (22/7/2024).
Kepala balai Pelestarian Kebudayaan wilayah XVII Sulawesi Utara dan Gorontalo, Sri Sugiharta mengatakan, Kolintang ini adalah alat musik tradisional berbahan kayu, tetapi memiliki nada yang bisa digunakan untuk musik modern.
“Ini suatu keunggulan, sehingga antara dunia tradisional dan modern bisa digabungkan dalam alat musik Kolintang ini,” ujar Sri Sugiharta.
Sementara itu Luddy Wullur, salah satu pelaku Kolintang di Sulawesi Utara mengatakan, pihaknya adalah yang pertama kali mengusulkan secara tunggal ke UNESCO sejak 2013, agar Kolintang bisa menjadi Warisan Budaya tak Benda (WBtB) asal Sulawesi Utara, Indonesia.
“Selanjutnya di 2018 proses pengusulan ini berlanjut agar menjadi Warisan Budaya Dunia, hanya saja kementerian pendidikan dan kebudayaan (Kemendikbud kala itu) meminta agar pengusulan ini dilakukan secara multinasional. Alasannya karena Kolintang juga berkembang di Filipina dengan nama Kulintang,” sebutnya.
Kulintang yang berkembang di Filipina, diketahui lebih memiliki bentuk seperti Gamelan Jawa yang terbuat dari logam. Sementara Kolintang Sulawesi Utara saat ini berasal dari kayu Cempaka, dimana untuk masyarakat Lembean, Minahasa Utara, Kolintang pada awalnya terbuat dari pohon Banderang.
Luddy menambahkan, alat musik Kolintang Sulawesi Utara ini, justru memiliki kesamaan dengan alat musik Balafon asal negara-negara di Afrika bagian Barat.
“Balafon Afrika yang memiliki bentuk hampir sama dengan Kolintang Sulawesi Utara ini, sudah diakui sebagai Warisan Budaya Dunia dari negara-negara Afrika bagian barat pada 2012 silam. Balafon ini memiliki ciri khas berbeda dengan Kolintang, saat alat musik tersebut dimainkan,” kata Luddy.
Sementara, salah satu pemerhati Kolintang asal Tomohon, Joudy Aray mengatakan, pihaknya sangat setuju agar terus dilakukan perjuangan ke UNESCO, bahkan di 2024 ini.
“Salah satu upaya pendukung yang nyata, adalah dengan memastikan agar Kolintang Sulawesi Utara bisa digunakan juga di tempat ibadah, pusat perbelanjaan dan lokasi publik lainnya, sehingga lebih memasyarakat,” jelas Joudy.
Sependapat dengan Joudy Aray, Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan wilayah XVII Sulawesi Utara dan Gorontalo, Sri Sugiharta mengatakan, pengakuan dari UNESCO ini penting, namun sebenarnya ada yg lebih penting lagi.
“Memakai Kolintang sebagai bagian dari keseharian masyarakat dalam aspek kehidupan sehari-hari, adalah hal yang lebih penting. Ini demi memastikan agar masyarakat benar-benar memahami alat musik lokal Sulawesi Utara ini,” kata dia.
Acara Napak Tilas Kolintang 3 Bilah, 5 Bilah, 7 Bilah yang digelar di Lembean, Minahasa Utara, digelar mulai dari pagi hingga malam hari. Kegiatan ini turut menampilkan para pemain Kolintang dari berbagai daerah di Sulawesi Utara, mulai dari tingkat anak Sekolah Dasar (SD) hingga dewasa.
Kegiatan ini juga menampilkan awal mula pembuatan Kolintang di Minahasa Utara, yang terdiri dari 3 Bilah, 5 Bilah dan 7 Bilah, yang turut dilakukan dengan ritual adat Minahasa di Gunung Maleposan, Minahasa Utara.
(RTG)