Direct Call ke Jepang Dorong Kinerja Ekspor Sulut

Oleh: Ronald Ginting

Exposenews.id, Manado – Kantor Wilayah Bea dan Cukai Sulawesi Bagian Utara (Sulbagtara) berkomitmen untuk meningkatkan ekspor hasil perikanan ke Jepang menyusul tingginya potensi serapan konsumsi penduduk Jepang. Hal ini terlihat dari hasil survey konsumen yang dilakukan Japan Fish Agency (2013), bahwa lebih dari setengah (55 persen) konsumen Jepang makan ikan setidaknya 2-3 kali seminggu.

Kabar ini mengemuka saat pelaksanaan Focus Group Discussion (FGD) peluang ekspor produk perikanan dari Kawasan Timur Indonesia (KTI) ke Jepang yang diselenggarakan oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Utara, secara virtual, Kamis (25/03/2021) pagi tadi.

Kepala Kantor Wilayah Bea dan Cukai Sulbagtara Cerah Bangun, menyebutkan peningkatan ekspor ke Jepang didukung oleh Direct Call Ekspor via udara ke Jepang. Saat ini, menurut Cerah, sudah 26 kali pengiriman dilakukan dengan tonase 402,2 ton. Adapun devisa ekspor yang diperoleh sebanyak USD 3.444.398,38 dengan komoditas utama yaitu ikan tuna, sejak direct call pertama diluncurkan pada 23 September 2020.

“Direct Call ekspor mendorong kinerja ekspor karena adanya kepastian slot cargo, kualitas barang terjaga, waktu tempuh yang singkat dan biaya logistik lebih murah,” ungkap Cerah.

Wakil Gubernur Sulawesi Utara (Sulut), Steven Kandouw menyatakan untuk mewujudkan direct call eskpor melalui perjuangan yang tidak mudah demi kemakmuran masyarakat Sulut.

“Sosialisasi diperlukan agar pelaku usaha mengetahui dan memanfaatkan Bandara Internasional Sam Ratulangi Manado sebagai pintu gerbang direct call ekspor ke Jepang dan Singapura,” ungkap Steven.

Peluang ekspor perikanan ke Jepang sangat terbuka lebar karena Jepang merupakan pasar terbesar di dunia untuk ikan tuna terutama spesies bernilai tinggi seperti bluefin, big eye dan albacore. Berdasarkan laporan Euromonitor 2017, konsumsi sea food segar Jepang mengalami tren penurunan.

Pada 2007, konsumsi seafood Jepang mencapai 5,1 ribu ton, namun pada 2017 konsumsinya menurun menjadi 3,7 ribu ton. Pada 2017, konsumsi seafood segar Jepang didominasi oleh ikan sebesar 2,5 ribu ton, dan diikuti oleh moluska dan crustacea dengan volume masing-masing sebesar 748 ton dan 472 ton. Namun, konsumsi seafood segar Jepang merupakan salah satu yang tertinggi di dunia. 

Sementara itu, atase perdagangan Jepang, Arief Wibisono mengemukakan untuk segmen ikan segar, ikan bluefin tuna memiliki harga tertinggi dibanding dengan ikan tuna lainnya. Pada 2020, harga bluefin tuna segar dapat mencapai JPY 1.586 per kilogram. Tuna Albacore memiliki harga yang paling rendah, yaitu sebesar JPY 355 per kilogram pada bulan yang sama. Sementara itu, harga bigeye tuna dan yellowfin tuna masing-masing sebesar JPY 745 per kilogram dan JPY 762 per kilogram.

“Jepang menerapkan standar yang tinggi untuk produk perikanan untuk menjamin keamanan dan mutu makanan,” kata Arif.

Sementara itu, Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Utara, Arbonas Hutabarat, menyebutkan untuk meningkatkan kinerja ekspor perlu dibangun komunikasi dan pertemuan antara asosiasi pengusaha perikanan dengan calon eksportir untuk bersama-sama melakukan ekspor dalam memenuhi pasar ekspor Jepang. Selain itu perlu adanya pelatihan ekspor yang diikuti oleh eksportir/calon eksportir dan instansi terkait sehingga mengetahui dan memahami ketentuan ekspor.

“Untuk peningkatan ekspor perlu pemetaan yang lebih detil, produsen, konsumen, pasar, komoditi dan adanya bisnis matching  sehingga meningkatkan ekspor,” sebut Arbonas.

Turut serta dalam FGD secara virtual antara lain Kepala Perwakilan Bank Indonesia Tokyo, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Gorontalo, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Papua Barat, Kepala Kantor Bea Cukai Manado, Kepala BKIPM, GM Angkasa Pura I Sam Ratulangi Manado, Instansi pemerintah pusat/daerah, eksportir dan calon eksportir.

(RTG)