Exposenews.id – Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudi Sadewa baru saja membuat pengakuan yang bikin panas kuping! Jadi, dia mengungkap sebuah fakta yang sangat mengejutkan tentang para programmer dari LG yang bertanggung jawab penuh atas sistem Coretax. Bahkan, berdasarkan pemeriksaan mendalam yang dilakukan timnya, terungkap bahwa para programmer kunci tersebut diduga hanya lulusan sekolah menengah atas (SMA). Akibatnya, Purbaya dengan tegas menyimpulkan bahwa Indonesia sekali lagi merasa dikibuli oleh pihak asing.
Dari Pemeriksaan Mendalam Sampai Kejutan Pahit
Lantas, bagaimana ceritanya sampai kesimpulan ini bisa muncul? Ternyata, tim Menkeu Purbaya sampai pada titik ini setelah melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap segudang permasalahan teknis yang terus menghantui para pengguna setia Coretax. Kemudian, Purbaya sendiri dengan gamblang membeberkan kesimpulan timnya di Kantor Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jakarta, pada Jumat (24/10/2025). “Kesimpulannya yang saya bilang tadi, dari problem kritis yang sering dialami pengguna, itu sudah cukup banyak terasa sih,” ujarnya. Selanjutnya, dia melanjutkan, “sesuai dengan target awal kita ya, target awal anak buah saya sih, karena depan bisa diberesin, tengah bisa diberesin, yang di bawah yang di LG enggak bisa.” Jadi, intinya, akar masalahnya bersarang di tim LG sendiri.
Komentar ‘Lucu’ yang Malah Bikin Miris
Namun, yang bikin kita semua mengelus dada adalah komentar jenaka sekaligus menyayat hati dari tim Purbaya. Begitu mereka berhasil mengakses source code Coretax, tim lokal Indonesia langsung dibuat terperangah. “Komentarnya lucu deh,” cerita Purbaya, “begitu mereka dapat source codenya, dilihat sama orang saya, dia bilang, ‘wah ini programmer tingkat baru lulusan SMA’.” Alhasil, dari situ timbul keyakinan bahwa LG tidak mengerahkan tim terbaiknya untuk Indonesia. “Jadi yang dikasih ke kita bukan orang jago-jagonya kelihatannya. Jadi ya Indonesia sering dikibuli asing,” keluhnya.
Selanjutnya, Purbaya pun memberikan perbandingan yang cukup tajam, “Begitu asing wah, apalagi K-pop, wah K-pop nih, tapi di bidang programmer beda ya, di K-pop, di film sama di nyanyi dan program beda.” Intinya, jangan samakan kualitas hebat di bidang hiburan dengan komitmen mereka di proyek teknologi strategis seperti ini. Sungguh ironis, di satu pihak kita dibuat terkagum-kagum dengan gelombang K-pop yang mendunia, namun di sisi lain kita justru mendapat perlakuan setengah hati dalam proyek senilai triliunan rupiah yang vital bagi negara.
Nilai Fantastis Rp 1,228 Triliun untuk Kualitas Meragukan
Sebagai informasi penting, LG yang dimaksud dalam konteks Coretax ini sebenarnya merujuk kepada sebuah konsorsium bernama LG CNS-Qualysoft. Perlu kita catat bersama, perusahaan asal Korea Selatan ini ternyata merupakan pemenang tender pengadaan Coretax dengan nilai proyek yang fantastis, yaitu mencapai Rp 1,228 triliun! Oleh karena itu, dengan nilai sebesar itu, masyarakat tentu berharap mendapatkan produk dan tim terbaik, bukan tim yang diduga masih hijau.
Empat Perbaikan Mendesak untuk Menyelamatkan Coretax
Di kesempatan yang sama, Menkeu Purbaya juga secara rinci menyampaikan empat hal utama sebagai hasil evaluasi dan perbaikan sistem Coretax. Keempat poin krusial ini terdiri dari penyelesaian problem-problem kritis, perbaikan aplikasi, perbaikan dari sisi keamanan dan infrastruktur, serta yang terakhir adalah perbaikan non-teknis. Mari kita bahas satu per satu.
Pertama, mari kita lihat dari sisi problem kritis. Selama ini, pengguna terus-menerus mengeluhkan masalah serius seperti tidak bisa login, koneksi yang sering timeout, tampilan yang tiba-tiba blank, gagal upload file penting seperti gaitir dan bupot, serta session yang mudah ‘nyasar’. Akan tetapi, kabar baiknya, Purbaya menyatakan bahwa sebagian besar masalah kritis ini sekarang sudah berhasil diatasi. “Problem teknis yang selama ini sering dialami pengguna sehingga tidak bisa bekerja sudah cukup banyak teratasi, sesuai dengan target awal,” tegas Purbaya. Dengan demikian, beban kerja para pengguna aktif mulai sedikit terangkat.
Kedua, dari sisi aplikasi, tim Purbaya akhirnya menyadari sebuah kenyataan pahit. Ternyata, waktu perbaikan selama satu bulan sama sekali tidak cukup untuk merombak total seluruh sistem Coretax yang telah dibangun selama empat tahun dengan segala kompleksitasnya. Oleh karena itu, langkah perbaikan yang dilakukan saat ini lebih mirip dengan pertolongan pertama atau “P3K”. Tim kemudian memfokuskan upaya mereka untuk membantu para pengguna aktif yang sangat bergantung pada sistem ini, misalnya untuk urusan vital seperti mencetak e-faktur dan e-bupot. Walaupun banyak halangan, perbaikan ini sudah mereka lakukan semaksimal mungkin.
Ketiga, kita beralih ke sisi keamanan (security) dan infrastruktur. Di satu sisi, Purbaya mengakui bahwa dari segi infrastruktur, fasilitas yang ada sebenarnya sudah sangat memadai. “Dari sisi infrastuktur sangat amat cukup, tinggal dimaksimalkan pemanfaatannya,” tuturnya. Namun sayangnya, masalah justru muncul pada sistem keamanannya. Sistem security yang diterapkan dinilai terlalu overkill, mahal, dan berbelit-belit. Ironisnya, banyak bagian dari sistem keamanan tersebut yang sudah ketinggalan zaman (obsolete) dan sebenarnya tidak diperlukan. Akibatnya, Purbaya menegaskan bahwa sistem keamanan ini mutlak perlu diperbarui dengan teknologi terbaru dan yang paling penting, harus disederhanakan.
Keempat dan yang terakhir, adalah perbaikan dari sisi nonteknis. Pada poin ini, Purbaya menegaskan hal yang paling fundamental: ketergantungan pengelolaan Coretax terhadap pihak asing harus segera diputus! Selanjutnya, dia menyampaikan visi ke depannya. Purbaya menilai, akan jauh lebih baik jika pemerintah mulai beralih dan bekerja sama dengan software house lokal karya anak-anak Indonesia.
Alasannya, software house dalam negeri dinilai tidak terlalu kaku pada prosedur dan tidak selalu mementingkan kontrak semata. Sebagai bukti, Purbaya menceritakan pengalaman suksesnya saat membangun Coresys untuk LPS. “Pengalaman saat membangun Coresys LPS, tinggal minta tolong kalau ada perubahan karena ada proses bisnis atau input keliru dari proses kerja dan lain-lain tanpa basa basi,” ungkapnya.
Pengalaman positif ini menunjukkan bahwa tim lokal mampu beradaptasi dengan cepat dan lebih memahami kebutuhan riil di lapangan. Mereka tidak hanya sekadar mengejar target kontrak, tetapi benar-benar berkomitmen untuk menyelesaikan masalah. Inilah yang menjadi kunci kesuksesan kolaborasi dengan anak bangsa – lebih lincah, solutif, dan penuh semangat gotong royong.
Dapatkan juga berita teknologi terbaru hanya di newtechclub.com
