BANGKOK, Exposenews.id – Dalam langkah dramatis yang mengguncang panggung politik Thailand, Perdana Menteri Sementara Thailand, Phumtham Wechayachai, secara resmi mengajukan dekret pembubaran parlemen atau DPR. Aksi ini langsung menyulut spekulasi setelah Pheu Thai, partai pemimpin koalisi pemerintahan sementara, benar-benar menemui jalan buntu dalam upayanya membentuk pemerintahan baru.
Tanpa menunggu waktu lama, langkah strategis ini akhirnya diumumkan kepada publik pada Rabu (3/9/2025). Pengumuman ini muncul hanya beberapa saat setelah Partai Rakyat—yang merupakan blok oposisi terbesar—secara mengejutkan menyatakan dukungan bagi kandidat perdana menteri dari kubu rival. Mereka justru memilih berpihak pada pengusaha konservatif Anutin Charnvirakul dari Partai Bhumjaithai.
“Kini, Perdana Menteri sementara Phumtham Wechayachai telah menyerahkan dekret pembubaran DPR,” ungkap Sekretaris Jenderal Pheu Thai, Sorawong Thienthong, kepada AFP dengan nada tegas. Selanjutnya, jika dekret ini akhirnya diterima dan disetujui, rakyat Thailand kemungkinan besar akan segera kembali ke tempat pemungutan suara dalam waktu dekat untuk menentukan arah baru pemerintahan mereka.
Akar Krisis: Penggulingan Pemimpin
Di balik semua ini, krisis politik sebenarnya sudah mulai memanas sejak pekan lalu. Pemicu utamanya adalah ketika Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk memberhentikan Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra karena ditemukan melakukan pelanggaran etika. Hebatnya, putri miliarder politikus legendaris Thaksin Shinawatra itu tercatat sebagai perdana menteri keenam dari keluarga Shinawatra yang kembali digulingkan oleh militer atau lembaga peradilan dalam dua dekade terakhir.
Kekosongan Kekuasaan dan Pencarian Solusi
Sejak saat itu, kursi perdana menteri pun dibiarkan kosong tanpa kepemimpinan yang pasti. Di sisi lain, Pheu Thai, yang masih berstatus sebagai pemerintahan sementara, terus berupaya mati-matian mencari dukungan dari anggota DPR agar bisa mengajukan calon pengganti yang baru. Sayangnya, pilihan mereka akhirnya hanya tersisa pada satu nama: Chaikasem Nitisiri, seorang mantan jaksa agung berusia 77 tahun dengan pengalaman kabinet yang sangat terbatas.
Namun, nasib Chaikasem praktis langsung kandas begitu Partai Rakyat—yang memiliki hampir sepertiga kursi DPR—secara terang-terangan menolak bekerja sama dengan Pheu Thai. Alih-alih mendukung, partai oposisi tersebut justru memilih untuk mendukung Anutin dari Bhumjaithai, yang notabene adalah rival politik mereka.
Jalan Buntu dan Opsi Pemilu
Menghadapi jalan buntu ini, Pheu Thai pun mulai menimbang sejumlah opsi. Sebelumnya, Sorawong sendiri telah mengakui bahwa partainya sedang mempertimbangkan dua pilihan: tetap nekat mengajukan Chaikasem atau membubarkan DPR dan membuka jalan untuk pemilu baru. “Jadi, jika Partai Rakyat memutuskan mendukung Anutin, kami akan mengikuti proses itu,” ujar Sorawong kepada wartawan sehari sebelumnya. “Selain itu, jika ada pemungutan suara pemilihan perdana menteri, kami akan tetap mengajukan Chaikasem Nitisiri,” imbuhnya penuh keyakinan.
Akan tetapi, dengan keputusan Partai Rakyat yang memilih merapat ke kubu lawan, pilihan Pheu Thai menjadi semakin sempit dan sulit. Akibatnya, tekanan publik dan spekulasi pun kian santer menyatakan bahwa partai itu tidak mempunyai jalan lain selain mengembalikan mandat kepada rakyat melalui pemilihan umum yang baru.
Titik Balik Demokrasi Thailand
Dengan demikian, langkah pembubaran DPR ini bukan hanya sebuah maneuver politik, tetapi juga menjadi bukti bahwa demokrasi Thailand masih terus berjuang untuk menemukan kestabilannya. Oleh karena itu, seluruh mata dunia kini tertuju pada Thailand, menantikan apakah pemilu baru ini akan menjadi solusi atau justru membuka babak baru dari krisis yang tak kunjung usai.
Dapatkan juga berita teknologi terbaru hanya di newtechclub.com












