KULON PROGO, Exposenews.id – Aksi protes spektakuler akhirnya meledak! Bukannya diam menunggu, belasan spanduk berisi kemarahan dan sindiran pedas justru menghiasi sepanjang Jalan Daendels di Kalurahan Karangwuni, Kapanewon Wates, Kabupaten Kulon Progo. Tanpa ragu, warga setempat memilih cara ini untuk menyuarakan kekesalan mereka yang sudah memuncak. Pasalnya, mereka harus menunggu selama enam tahun lamanya tanpa kepastian pembayaran uang ganti rugi (UGR) untuk proyek pembangunan Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS).
Tidak main-main, sindiran dalam spanduk itu bahkan berubah menjadi ancaman serius. Masyarakat menyatakan akan menolak keberlanjutan proyek JJLS karena dinilai sama sekali tidak transparan dan jelas-jelas merugikan warga. Spanduk-spanduk itu sengaja dipasang di sepanjang pinggir jalan barat Balai Kalurahan Karangwuni agar semua pengendara dan pemerintah bisa langsung melihatnya.
“Kemarin kami sudah audiensi dengan provinsi. Janjinya, awal Agustus akan ada kejelasan soal pencairan UGR, tetapi kenyataannya? Tidak ada kabar apa-apa sampai detik ini. Warga merasa benar-benar disepelekan,” ujar Eko Yulianto dengan nada kesal saat diwawancarai wartawan pada Senin (1/9/2025). Sebagai salah satu warga terdampak, Eko mengungkapkan kekecewaan mendalam terhadap lambatnya proses pencairan dana ganti rugi tersebut.
Lebih lanjut, Eko menegaskan bahwa warga sebenarnya sudah menunjukkan kesabaran luar biasa selama enam tahun. Mereka juga telah mengikuti berbagai audiensi dengan pemerintah provinsi, tetapi sayangnya, semua itu tidak kunjung membuahkan kepastian. Padahal, nilai ganti rugi sebenarnya sudah ditentukan oleh pihak appraisal sejak lama. Alih-alih menunggu, banyak warga malah terpaksa mengajukan pinjaman ke bank dengan jaminan pembayaran dari proyek tersebut. Akibatnya, tidak sedikit warga yang kini justru terbelit utang dan belum mampu melunasinya.
“Tapi realisasinya (UGR) tidak ada,” tambah Eko dengan nada frustrasi. Ia bahkan bercerita bahwa beberapa warga ada yang meninggal dunia tanpa sempat menikmati pembayaran ganti rugi tersebut. Selain itu, banyak juga warga yang terpaksa mencicil pinjaman bank setiap bulan karena sudah lebih dulu membangun rumah baru dengan harapan dana ganti rugi akan segera cair.
Tekanan Utang Menjadi Beban Bertahun-Tahun
Salah satu korban yang merasakan langsung dampak kelambatan ini adalah Mariyus Puryanto. Ia mengaku harus berputar otak untuk membiayai kuliah anaknya karena dananya tersangkut di proyek JJLS. Belum lagi, ia pernah mengalami musibah duka dalam keluarga besar yang memerlukan biaya tidak sedikit. Hingga kini, cicilan banknya masih terus berjalan tanpa ada kepastian pelunasan.
Oleh karena itu, Mariyus sangat membutuhkan dana tersebut untuk menutupi segala kebutuhannya. Sayangnya, hingga detik ini, ia masih harus mencicil bunga bank sebesar Rp2 juta setiap enam bulan. “Anak saya sudah lulus kuliah, tapi cicilan bank masih jalan. Jatuh temponya sudah mepet, saya bingung harus bayar dari mana. Sumber penghasilan saya cuma dari menyewakan rumah dan jualan kelapa,” keluh Mariyus dengan wajah pasrah.
Sebenarnya, harapan terbesarnya tertumpu pada uang ganti rugi tersebut. Meskipun sudah ada penandatanganan berkas di bank, dananya sama sekali tidak kunjung cair. Hal ini semakin memperparah kondisi ekonominya yang sudah sulit.
Warga Siap Tolak Proyek JJLS Jika Tidak Ada Kepastian
Mujiran, selaku koordinator aksi warga, menyampaikan bahwa masyarakat sudah berada di titik jenuh dan kecewa yang teramat sangat. Ia menegaskan bahwa jika dalam waktu dekat tidak ada kepastian pembayaran, maka warga siap menolak proyek JJLS secara tegas. “Rakyat sudah terlalu lama menunggu. Kalau iya dibayar, ya bayar. Kalau tidak, bilang saja tidak. Jangan digantung seperti ini. Kami butuh kepastian,” tegas Mujiran dengan suara lantang.
Ia juga menyoroti bahwa sejumlah rencana pembangunan warga, seperti pembangunan ruko dan perumahan, menjadi terhambat akibat status tanah yang tidak jelas. Bahkan, beberapa warga mengaku usahanya bangkrut karena modal yang semula digantungkan pada uang ganti rugi tak kunjung direalisasikan.
Menurut Eko, masih ada sekitar 250 bidang tanah di Karangwuni yang belum menerima pembayaran. Warga menilai pemerintah tidak serius menuntaskan masalah UGR ini. Meskipun proses appraisal dan pendataan sudah selesai sejak lama, tidak ada tindak lanjut nyata yang diberikan.
Masyarakat berharap pemerintah, terutama Pemerintah Provinsi DIY dan instansi terkait, segera memberikan kejelasan mengenai status lahan mereka dan waktu pembayaran yang pasti. “Yang kami butuhkan bukan janji, tapi tindakan nyata. Enam tahun kami bersabar, tapi kini cukup sudah. Kami menolak proyek JJLS kalau tidak ada kejelasan pembayaran,” pungkas Eko dengan penuh keyakinan.
Mereka sudah lelah dengan janji-janji manis dan hanya menginginkan keadilan serta kepastian yang nyata. Aksi spanduk ini hanyalah awal; jika tidak direspons, aksi penolakan yang lebih besar siap dilancarkan!
Dapatkan juga berita teknologi terbaru hanya di newtechclub.com