KABUL, Exposenews.id – Lebih dari 800 orang meregang nyawa akibat gempa bumi dahsyat bermagnitudo 6,0 yang menghancurkan Afghanistan timur pada Minggu (31/8/2025) malam. Selanjutnya, para penyintas terpaksa menghabiskan malam di ruang terbuka yang dingin, sementara tim penyelamat tanpa henti berjuang mengevakuasi korban yang masih terperangkap di bawah reruntuhan hingga Selasa (2/9/2025).
Tak hanya itu, Provinsi Kunar yang berbatasan langsung dengan Pakistan menjadi wilayah yang paling hancur berantakan. Akibatnya, rumah-rumah sederhana berbahan lumpur dan batu di desa-desa terpencil langsung luluh lantak, menimpa para penghuni yang sedang beristirahat tanpa curiga. Di sisi lain, jenazah para korban, termasuk banyak anak-anak, dengan cepat dibungkus kain kafan putih sebelum dimakamkan secara massal, sementara korban luka-luka dievakuasi menggunakan helikopter menuju rumah sakit.
“Pada kenyataannya, kamar-kamar dan dinding kami runtuh seketika dan menewaskan beberapa anak serta melukai yang lainnya,” ungkap Zahar Khan Gojar (22), seorang penyintas dari Nurgal yang berhasil dievakuasi ke Jalalabad bersama saudaranya yang mengalami patah kaki.
Berdasarkan data, US Geological Survey (USGS) melaporkan episentrum gempa berada sekitar 27 kilometer dari Jalalabad dengan kedalaman sangat dangkal, hanya delapan kilometer di bawah permukaan bumi, yang memperbesar kekuatan guncangannya. Oleh karena itu, juru bicara pemerintah Taliban, Zabihullah Mujahid, mengonfirmasi sekitar 800 orang tewas dan 2.500 orang terluka hanya di Provinsi Kunar saja.
“Yang lebih memprihatinkan, banyak orang masih terjebak di bawah reruntuhan atap rumah mereka,” tegas kepala penanggulangan bencana Kunar, Ehsanullah Ehsan, kepada AFP. Dengan demikian, ia memperingatkan bahwa angka kematian dipastikan masih akan terus bertambah.
Sementara itu, di provinsi tetangga, Nangarhar, tercatat 12 orang meninggal dan 255 orang terluka, sedangkan 58 orang lainnya terluka di Provinsi Laghman. Sayangnya, sejumlah desa di Kunar yang paling parah terdampak masih belum dapat dijangkau karena jalanan tertutup oleh longsoran tanah, seperti dilaporkan badan migrasi PBB.
“Melihat kondisi ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa bekerja sama dengan pihak berwenang untuk segera menilai kebutuhan, menyediakan bantuan darurat, dan siap memobilisasi dukungan tambahan,” janji Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dalam pernyataannya. Sebagai langkah awal, dana tanggap darurat sebesar 5 juta dollar AS (Rp 82 miliar) telah dicairkan PBB untuk mendukung operasi kemanusiaan.
Namun, bencana memilukan ini justru terjadi ketika prospek bantuan untuk Afghanistan sedang berada di titik paling suram. Pasalnya, Amerika Serikat, yang sebelumnya menjadi donor terbesar, menghentikan hampir seluruh bantuan dana sejak awal 2025 setelah Donald Trump kembali menjabat sebagai presiden. Belum lagi, pada Juni lalu, PBB juga terpaksa mengumumkan pengurangan drastis rencana bantuan global mereka akibat pemotongan dana terbesar sepanjang sejarah.
Alhasil, kerentanan Afghanistan semakin menjadi-jadi karena mayoritas penduduknya masih menghuni rumah bata lumpur bertingkat rendah yang sangat mudah rubuh saat diguncang gempa dangkal. “Yang kami rasakan, ada begitu banyak ketakutan dan ketegangan. Anak-anak dan perempuan menjerit histeris. Kami belum pernah mengalami hal mengerikan seperti ini seumur hidup kami,” ujar Ijaz Ulhaq Yaad, anggota Departemen Pertanian di Nurgal, menggambarkan kepanikan tersebut.
Tak ketinggalan, duka mendalam juga datang dari Vatikan. Paus Leo XIV menyampaikan rasa belasungkawa yang tulus atas hilangnya begitu banyak nyawa dalam musibah yang memilukan hati ini.
Perlu diketahui, sebagian besar warga di desa terdampak actually merupakan bagian dari lebih dari empat juta warga Afghanistan yang dalam beberapa tahun terakhir kembali dari pengungsiannya di Iran dan Pakistan. Pada akhirnya, Afghanistan memang kerap dilanda gempa karena letaknya yang berada di kawasan pegunungan Hindu Kush, tepat di titik pertemuan lempeng tektonik Eurasia dan India.
Sebagai bukti, pada Oktober 2023 silam, gempa berkekuatan magnitudo 6,3 telah mengguncang Provinsi Herat dan menewaskan lebih dari 1.500 orang. Bahkan, setahun sebelumnya, gempa bermagnitudo 5,9 di Provinsi Paktika telah merenggut lebih dari 1.000 nyawa dan membuat puluhan ribu orang kehilangan tempat tinggal.
Situasi semakin rumit karena Afghanistan telah terjebak dalam empat dekade perang, krisis kemanusiaan yang tak kunjung usai, dan pemangkasan bantuan luar negeri sejak Taliban kembali berkuasa pada 2021. Fakta mencengangkannya, Program Pembangunan PBB mencatat sekitar 85 persen warga Afghanistan hidup dengan pendapatan kurang dari satu dollar AS per hari, yang membuat mereka hampir mustahil membangun rumah yang tahan gempa.
Dapatkan juga berita teknologi terbaru hanya di newtechclub.com