DUNIA, Exposenews.id — Dunia kembali menahan napas menyaksikan bara kecil di Timur Tengah meledak jadi api besar yang mengancam stabilitas global. Para aktor perang seolah yakin bahwa perdamaian hanya bisa lahir dari asap rudal dan reruntuhan di Teheran dan Tel Aviv. Padahal, nasib dunia justru ditentukan di balik pintu tertutup di Washington, Tel Aviv, dan Teheran—di ruang-ruang rahasia tempat intelijen, kalkulasi energi, dan ambisi politik berseteru.
AS Harus Berubah, atau Terjebak dalam Perang Abadi
Amerika Serikat, sebagai poros kekuatan global, harus berhenti memperlakukan Timur Tengah seperti papan catur era Perang Dunia II. Dunia sudah berubah. Dominasi tunggal AS kini digantikan oleh kekuatan multipolar yang kompleks. Jika Washington tetap ngotot mengandalkan kekuatan militer untuk menekan Iran—apalagi lewat proxy war bersama Israel—bukan hanya stabilitas kawasan yang hancur, tapi kepentingan ekonomi dan geopolitik AS sendiri yang jadi sasaran balasan.
Iran Bukan Irak atau Libya
Perlu diingat, Iran bukanlah Irak atau Libya yang mudah dihancurkan oleh serangan AS. Iran punya sejarah politik yang kuat, jaringan proksi dari Lebanon hingga Yaman, dan posisi strategis di Selat Hormuz—jalur minyak tersensitif di dunia. Serangan terbuka Israel yang diam-demi didukung AS hanya akan memicu balasan lebih ganas dan tak terduga.
Iran tahu mereka tak bisa menandingi kekuatan udara Israel atau drone canggih AS. Tapi Teheran paham betul kelemahan lawan: ekonomi global yang rapuh. Bayangkan jika Iran benar-benar memutuskan untuk mengacaukan pasar minyak. Satu serangan ke kilang Arab Saudi atau pelabuhan Uni Emirat Arab bisa membuat harga minyak melambung tinggi. AS Akan Membayar Mahal: Inflasi Melambung, Pasar Kolaps, dan Rakyat Mengamuk—Semua Demi Menekan Iran yang Belum Tentu Punya Nuklir
Israel dan Iran: Dua Kekerasan yang Saling Memicu
Memang, Israel punya alasan eksistensial untuk mempertahankan keamanannya. Tapi pendekatan keras Netanyahu lewat pemboman pre-emptive justru menciptakan lingkaran kekerasan tanpa ujung. Di sisi lain, Teheran dengan retorika revolusionernya juga sama kerasnya. Tapi membombardir Iran bukan solusi—itu hanya menguatkan faksi garis keras dan membunuh suara moderat yang ingin dialog dengan Barat.
AS Harus Jadi Penengah, Bukan Provokator
Washington, dengan segala kekuatan militernya, harus berperan sebagai penengah yang rasional. Satu-satunya jalan damai adalah memaksa AS, Israel, dan Iran duduk bersama dalam perjanjian baru—tidak hanya soal nuklir, tapi juga keamanan regional dan normalisasi ekonomi.
baca juga: Gencatan Senjata Iran-Israel: Saling Langgar dan Kemarahan Trump
Mungkin inilah saatnya Indonesia mengusulkan inisiatif perdamaian yang melibatkan Iran, negara Teluk, Turki, Israel, AS, bahkan China dan Rusia sebagai penengah. Elite Washington juga harus berhenti bermain dua wajah: bicara perdamaian di forum internasional, tapi diam-diam mendukung serangan di balik layar.
Hari ini, para pemimpin di Pentagon, markas Mossad, dan Majelis Keamanan Iran duduk di ruang ber-AC sambil menentukan nasib dunia. Jika mereka hanya memperdebatkan kekuasaan dan senjata, maka kehancuran Timur Tengah—dan efeknya pada dunia—tinggal menunggu waktu. Namun, jika mereka memprioritaskan stabilitas dan kepentingan jangka panjang, kita masih punya peluang untuk mencegah perang global baru.
Sayangnya, korban utama bukanlah elite yang berdebat di ruang ber-AC, melainkan rakyat biasa yang hidup dalam ketakutan.
Lihatlah Teheran dan Tel Aviv: Rakyat yang Jadi Korban
Di Israel, rakyat hidup dalam siaga permanen. Sirine serangan jadi suara sehari-hari, anak-anak diajari bersembunyi di bunker, dan orang tua ketakutan mengantar anak ke sekolah. Siapa yang merasakan ini? Bukan Netanyahu, tapi warga biasa.
Di Iran, sementara elite teriakkan slogan anti-AS, ekonomi dalam negeri ambruk. Sanksi global menghancurkan kehidupan rakyat kecil—harga melambung, lapangan kerja hilang, generasi muda kehilangan masa depan.
Ironi Elite Perang: Berteriak “Demi Rakyat”, Tapi Rakyat yang Menderita
Di kedua pihak, jargonnya sama: “demi keamanan rakyat” dan “kehormatan bangsa”.
Para elite itu tinggal aman di balik tembok pengaman dan intelijen. Sementara rakyatnya menyesuaikan hidup dengan jadwal serangan dan pemadaman listrik.
Benarkah ini tentang keamanan? Agama? Harga diri bangsa? Atau sekadar pertarungan kekuasaan dan ego para elite?
Satu yang pasti: selama logika perang masih dianggap solusi, perdamaian hanyalah ilusi. Dan yang paling menderita? Selalu rakyat kecil—yang hanya punya doa dan air mata, sementara para elite terus bermain dengan nyawa mereka.