banner 120x600

Baru 10 Bulan Memimpin, PM Thailand Didesak Mundur Gara-gara Skandal Telepon

BANGKOK, Exposenews.id – Pemerintahan Perdana Menteri Thailand, Paetongtarn Shinawatra, kini terancam kolaps setelah salah satu mitra koalisinya memutuskan hengkang. Padahal, perempuan 38 tahun ini baru 10 bulan duduk di kursi kekuasaan. Desakan agar dia mundur pun kian menggema.

Paetongtarn, putri mantan PM Thaksin Shinawatra, sebenarnya adalah pendatang baru di dunia politik. Sayangnya, popularitasnya terus merosot akibat ekonomi yang lesu dan ketegangan perbatasan dengan Kamboja yang berpotensi memicu konflik militer.

Koalisi Retak, Pemerintahan Terancam Bubar

Partai Bhumjaithai, mitra koalisi terbesar kedua, tiba-tiba menarik dukungan pada Rabu (18/6/2025) malam. Kebocoran rekaman percakapan telepon antara Paetongtarn dan mantan pemimpin Kamboja Hun Sen memicu Partai Bhumjaithai mengambil keputusan untuk menarik dukungan.

Para kritikus menilai percakapan tersebut telah mencemari kedaulatan negara sekaligus meruntuhkan wibawa militer Thailand di mata publik.

Tak hanya Bhumjaithai, Partai United Thai Nation (UTN), Chart Thai Pattana, dan Partai Demokrat juga berencana menggelar rapat darurat. Jika salah satu dari mereka ikut cabut, Paetongtarn akan memimpin pemerintahan minoritas yang hampir mustahil bertahan.

Sampai kini, Paetongtarn belum memberi tanggapan resmi. Namun, dia terlihat masuk kantor pemerintahan pada Kamis pagi, dikawal ketat polisi yang bersiaga menghadapi demo. Di sisi lain, indeks saham Thailand anjlok 2,4%, mencapai level terendah sejak April lalu.

Isi Percakapan yang Bikin Heboh

Dalam rekaman yang bocor tertanggal 15 Juni itu, Paetongtarn terdengar meminta Hun Sen menyelesaikan sengketa perbatasan secara damai. Dia juga menyebut ada “pihak lain” di Thailand—termasuk seorang jenderal—yang hanya ingin terlihat keren.

Paetongtarn kemudian membela diri dengan mengatakan itu hanya strategi negosiasi. “Tidak ada masalah dengan militer,” klaimnya.

baca juga: Jadwal Pertandingan Timnas Indonesia di ASEAN U23 Championship 2025, simak lengkapnya!

Untuk meredam krisis, dia menggelar pertemuan dengan pejabat keamanan tertinggi. Didampingi menteri pertahanan dan pimpinan militer, Paetongtarn meminta maaf atas kebocoran rekaman dan menyerukan persatuan.

“Kita tidak punya waktu untuk bertengkar. Kedaulatan negara harus dijaga. Pemerintah siap mendukung militer sepenuhnya,” tegasnya.

Titik Balik: Mundur atau Pemilu Dini?

Jika Paetongtarn mundur, parlemen harus memilih PM baru dari daftar kandidat pemilu 2023. Opsi lain adalah bubarkan parlemen dan gelar pemilu dini—langkah yang bisa menguntungkan Partai Rakyat, oposisi yang kini paling populer.

Partai Rakyat adalah penerus Move Forward Party (MFP), pemenang pemilu 2023 yang dibubarkan pengadilan. Mereka menilai Thailand sedang lumpuh dan hanya pemilu baru yang bisa menyelesaikan masalah.

“Kebocoran rekaman ini adalah titik balik,” kata Ketua Partai Rakyat, Natthaphong Ruengpanyawut. “Saya minta PM bubarkan parlemen. Rakyat butuh pemerintahan yang legit dan demokratis.”

Bayang-bayang Thaksin dan Kekuatan Militer

Pemerintahan Paetongtarn juga terus dikritik karena pengaruh kuat ayahnya, Thaksin. Meski tak punya jabatan resmi, Thaksin sering kali ikut campur kebijakan pemerintah sejak kembali dari pengasingan pada 2023.

Di sisi lain, militer semakin agresif menanggapi sengketa dengan Kamboja. Situasi ini mengingatkan kembali pada dominasi militer dalam politik Thailand, termasuk dua kudeta yang menjatuhkan Thaksin pada 2006 dan 2014.

Militer sendiri sudah mengeluarkan pernyataan yang menegaskan komitmen pada demokrasi. “Kami imbau rakyat percaya pada Angkatan Darat Thailand dalam menjaga kedaulatan negara,” bunyi pernyataan itu.

Apa Langkah Selanjutnya?

Dengan koalisi yang retak dan tekanan yang makin besar, masa depan Paetongtarn sebagai PM semakin tidak pasti.

Dengan koalisi yang terus retak dan tekanan politik yang kian menguat, Paetongtarn kini berada di ujung tanduk. Situasi ini memaksa semua pihak untuk segera mengambil sikap tegas.  Sementara itu, militer tetap bersikeras akan menjaga stabilitas negara sesuai hukum yang berlaku.

Masyarakat Thailand pun mulai kehilangan kesabaran. Mereka menuntut kepemimpinan yang kuat dan bersih dari kepentingan keluarga. Transparansi dan akuntabilitas menjadi harga mati yang diharapkan rakyat dari pemerintahan berikutnya.

Pada akhirnya, jalan keluar terbaik mungkin memang terletak pada suara rakyat. Pemilu baru bisa menjadi momentum reset bagi Thailand untuk membangun pemerintahan yang lebih legitimate. Namun sebelum itu, semua pihak harus belajar dari krisis kali ini – bahwa politik bukanlah permainan kekuasaan semata, melainkan amanah untuk mensejahterakan bangsa.