WAISAI, Exposenews.id – Uskup Keuskupan Timika, Mgr. Bernardus Bofitwos Baru OSA, turut menyuarakan penolakan terhadap proyek pertambangan nikel di Pulau Gag, Distrik Waigeo Barat, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya. Dengan tegas, Uskup yang akrab disapa Benard ini menyatakan bahwa kerusakan alam akibat tambang hanya akan semakin meminggirkan masyarakat adat Papua di Kepulauan Gag.
Menurutnya, aktivitas pertambangan nikel di Pulau Gag bukan sekadar eksploitasi sumber daya alam, melainkan juga perampasan hak dasar masyarakat setempat. “Selama ini Raja Ampat dipuji-puji karena keindahannya, tapi sekarang perusahaan datang dan merusaknya,” ujarnya kepada Exposenews.id, Selasa (10/6/2025).
Sebagai lulusan Universitas Kepausan Urbaniana, Roma, Uskup Benard menegaskan bahwa dampak pertambangan ini sangat luas—mulai dari kerusakan lingkungan, perubahan iklim, hingga ancaman terhadap ekosistem sekitar. “Tambang nikel di Pulau Gag jelas merusak alam dan mengancam kehidupan masyarakat Papua di Raja Ampat,” tegasnya.
Homili Pentakosta: Kritik Pedas terhadap Oligarki
Dalam homili Pentakosta yang ia sampaikan Minggu (8/6/2025) di Gereja Katedral Kristus Raja, Uskup Benard secara tegas mengutuk keserakahan para penguasa dan oligarki yang terus merusak alam sembari menginjak-injak hak masyarakat adat. Rekaman homilinya pun langsung menyebar luas setelah Exposenews.id mempublikasikannya pada Selasa (10/6/2025).
“Dua ribu hektar tanah adat suku Marind di Merauke dan keindahan laut Raja Ampat mereka hancurkan tanpa belas kasih,” ujarnya dengan nada geram.
Juga menambahkan deskripsi emosi “dengan nada geram” untuk memperkuat kesan aktif dan vokal dari pernyataan Uskup.)
Semua ini demi proyek ‘strategis nasional’ yang sebenarnya hanya menguntungkan segelintir orang,” ungkapnya dengan nada prihatin.
Uskup dari Ordo Santo Agustinus (OSA) ini menyebut tindakan tersebut didorong oleh roh kejahatan kapitalisme. “Pemerintah dan pengusaha berlaku sewenang-wenang, mengambil kehidupan masyarakat asli Papua tanpa mempertimbangkan masa depan mereka,” tegas Mgr. Bernard.
Dampak Jangka Panjang: Ancaman bagi Lingkungan
Sementara itu, Andes Hamuraby Rozak, Kepala Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan BRIN, memperingatkan bahwa dampak pertambangan tidak akan langsung terlihat. “Butuh waktu hingga 10 tahun untuk benar-benar merasakan efeknya,” jelasnya saat dihubungi Exposenews.id, Senin (9/6/2025).
Andes menjelaskan, kerusakan vegetasi permukaan tanah lambat laun akan memengaruhi kualitas air tanah. “Jika tutupan lahan rusak, air tanah pasti tercemar.
Respons Pemerintah: KLH Akan Ambil Langkah Hukum
Merespon polemik ini, Menteri Lingkungan Hidup (KLH) Hanif Faisol Nurofi menyatakan akan segera mengambil tindakan hukum setelah melakukan kajian mendalam. “Kami akan menindak tegas aktivitas pertambangan di Raja Ampat jika terbukti melanggar aturan,” tegasnya dalam peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2025 di Bali, Kamis (5/6/2025).
Namun, Kementerian ESDM justru membela operasi PT GAG Nikel. “Kami lihat dari udara, tidak ada sedimentasi di pesisir. Secara keseluruhan, tambang ini berjalan baik,” klaimnya.
Pertentangan Kebijakan: Masyarakat Adat Jadi Korban
Di tengah perbedaan pendapat pemerintah, masyarakat adat Papua tetap menjadi pihak yang paling dirugikan. Uskup Benard menegaskan, proyek ini hanya menguntungkan segelintir elite, sementara warga lokal kehilangan tanah dan sumber kehidupan.
“Ini bukan sekadar masalah lingkungan, tapi juga keadilan sosial. Kita tidak boleh diam melihat ketimpangan ini,” serunya.
Dengan nada tegas, ia mendesak semua pihak—termasuk gereja, aktivis, dan media—untuk terus memperjuangkan hak masyarakat adat dan kelestarian alam Papua. “Jika kita diam sekarang, anak cucu kita yang akan menanggung akibatnya,” pungkasnya.
Akhir Kata: Perlawanan yang Harus Terus Bergema
Isu tambang nikel di Raja Ampat bukan hanya soal lingkungan, melainkan juga martabat manusia. Selama pemerintah dan korporasi abai, suara seperti Uskup Benard dan para ilmuwan harus terus didengar. Sebab, seperti kata pepatah, “Bumi bukan warisan nenek moyang, melainkan titipan anak cucu kita.”
Laporan: Exposenews.id
Editor: Tim Investigasi Lingkungan