Exposenews.id – Akhirnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil mengungkap sebuah praktik pemerasan yang sangat sistematis. Dengan tegas, KPK menyatakan bahwa Gubernur Riau, Abdul Wahid, diduga melakukan pemerasan terhadap para pejabat di bawah kendalinya. Modusnya, ia secara sengaja menaikkan anggaran proyek jalan dan jembatan hingga fantastis, yaitu Rp 106 miliar. Kemudian, ia tak segan meminta “jatah preman” atau setoran yang akhirnya terkumpul mencapai Rp 4,05 miliar. Yang lebih mencengangkan lagi, penyidik KPK menemukan bahwa dana haram hasil pungutan liar ini kemudian digunakan untuk berbagai kepentingan pribadi, termasuk pembiayaan perjalanan mewah ke luar negeri!
Anggaran Melonjak Drastis, Imbalan Diminta
Lantas, bagaimana kasus ini bermula? Ternyata, semua berawal dari tambahan anggaran yang tiba-tiba mengucur deras pada Unit Pelaksana Teknis (UPT) Jalan dan Jembatan Wilayah I–VI Dinas PUPR-PKPP Provinsi Riau untuk tahun 2025. Awalnya, anggaran proyek ini hanya bernilai Rp 71,6 miliar. Namun, secara mencurigakan, angka ini melonjak drastis menjadi Rp 177,4 miliar, yang artinya terjadi penambahan sebesar Rp 106 miliar. Kenaikan anggaran yang tidak wajar ini tentu saja bukan tanpa “imbalan”. Berdasarkan hasil penyidikan yang mendalam, KPK membuktikan bahwa Abdul Wahid secara aktif memerintahkan pejabat di bawahnya untuk menyetorkan “fee proyek” sebagai balas jasa atas tambahan anggaran tersebut.
KPK Beberkan Rapat Gelap dan Ancaman “Jatah Preman”
Selanjutnya, pola pungutan liar ini bahkan sempat mereka bahas dalam sebuah pertemuan rahasia. Ferry Yunanda sebagai Sekretaris Dinas PUPR mempertemukan enam Kepala UPT. Dalam pertemuan itu, mereka secara terpaksa diminta menentukan besaran setoran untuk sang gubernur.
Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, memaparkan kronologi permintaan setoran ini. Awalnya, para pejabat hanya menyepakati fee 2,5 persen dari nilai tambahan anggaran. Namun, permintaan itu tiba-tiba dinaikkan hingga 5 persen atau setara Rp 7 miliar.
“Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan ataupun mutasi dari jabatannya. Akibatnya, di kalangan Dinas PUPR PKPP Riau, permintaan ini akhirnya dikenal dengan istilah ‘jatah preman’,” tegas Johanis.
KPK berhasil memetakan dengan jelas aliran dana haram ini. Para Kepala UPT menyerahkan uang kepada Ferry Yunanda. Ferry kemudian meneruskannya kepada Kepala Dinas PUPR, Muhammad Arief Setiawan. Arief lalu menyalurkan dana itu kepada Tenaga Ahli Gubernur, Dani M. Nursalam, yang bertindak sebagai penghubung utama untuk Abdul Wahid.
Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, memperkuat temuan ini. Lebih lanjut, Asep mengungkap fakta memalukan bahwa uang rakyat itu membiayai perjalanan pribadi sang gubernur.
“Ada beberapa keperluan ke luar negeri, misalnya ke Inggris. Inilah alasan mengapa kami menemukan uang Poundsterling. Selain itu, ada juga perjalanan ke Brasil. Dan yang terakhir, rencananya mereka mau ke Malaysia,” jelas Asep dengan detail.
Dari hasil penyidikan yang teliti, KPK mencatat tiga kali penyerahan uang antara Juni hingga November 2025. Total uang yang berhasil dikumpulkan mencapai Rp 4,05 miliar.
Pada Juni 2025, Ferry Yunanda mengumpulkan Rp 1,6 miliar. Rp 1 miliar di antaranya langsung diserahkan kepada Abdul Wahid melalui Dani M. Nursalam. Kemudian pada Agustus 2025, Ferry kembali mengumpulkan dana sebesar Rp 1,2 miliar.
Terakhir, pada November 2025, Kepala UPT Wilayah III mengumpulkan Rp 1,25 miliar. “Dengan demikian, total penyerahan pada periode Juni–November 2025 mencapai Rp 4,05 miliar, meskipun kesepakatan awalnya adalah Rp 7 miliar,” jelas Johanis.
Akhirnya, seluruh modus ini terbongkar setelah KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) pada Senin (3/11/2025). Penyidik menangkap Ferry Yunanda, Muhammad Arief Setiawan, dan lima Kepala UPT. Uang tunai Rp 800 juta berhasil disita sebagai barang bukti. Sementara itu, Abdul Wahid diamankan bersama orang kepercayaannya, Tata Maulana, di sebuah kafe di Riau.
Ancaman 20 Tahun Penjara dan Skema Korupsi Terstruktur
Untuk tindak pidana yang serius ini, Abdul Wahid dijerat dengan pasal-pasal berat. Pasal yang menjeratnya adalah Pasal 12e, Pasal 12f, dan Pasal 12B Undang-Undang Tipikor, juncto Pasal 55 KUHP. Pasal-pasal ini mengancam hukuman pidana penjara hingga 20 tahun.
KPK menegaskan praktik ini menunjukkan penyalahgunaan kekuasaan yang sistemik di lingkungan pemerintahan daerah. Modus pemerasan yang dilakukan Abdul Wahid bukanlah tindakan spontan, melainkan skema terencana yang sudah diinstitusionalisasi.
Istilah “jatah preman” telah menjadi kode internal resmi di kalangan pejabat Dinas PUPR Riau. KPK menyimpulkan praktik ini sebagai bentuk korupsi terstruktur yang berawal dari kebijakan politik anggaran yang penuh rekayasa.
Dapatkan juga berita teknologi terbaru hanya di newtechclub.com
