Exposenews.id – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) akhirnya menjatuhkan sanksi tegas kepada lima pimpinan puncak Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI. Kelima komisioner yang terkena imbas tersebut adalah Mochammad Afifuddin yang juga menjabat sebagai Ketua KPU RI, lalu Idham Holik, Yulianto Sudrajat, Parsadaan Harahap, dan August Mellaz.
Sanksi peringatan keras ini langsung dibacakan sendiri oleh Ketua DKPP, Heddy Lugito, dalam sidang yang digelar pada Selasa (21/10/2025). Tak hanya itu, Sekretaris Jenderal KPU RI, Bernard Dermawan Sutrisno, juga ikut merasakan sanksi yang sama.
Yang mencengangkan, semua sanksi ini berawal dari sebuah kebijakan kontroversial yaitu pengadaan jet pribadi untuk alat transportasi dinas. Sidang DKPP pun berhasil mengungkap fakta-fakta mengejutkan seputar pengadaan pesawat jet mewah ini, mulai dari anggaran yang membengkak hingga frekuensi penggunaan yang luar biasa sering.
APBN Rp 90 Miliar Dikucurkan untuk Sewa Jet Mewah
Anggaran yang dihabiskan untuk sewa jet ini ternyata berasal dari uang rakyat! Berdasarkan pertimbangan hukum yang dibacakan Anggota DKPP I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, terungkap bahwa dana yang dikucurkan mencapai puluhan miliar rupiah.
Anggaran fantastis ini didapat dari pagu sewa dukungan kendaraan distribusi logistik pemilu 2024. Pagu anggaran untuk pengadaan sewa kendaraan dengan kode RUP469 tersebut bernilai Rp 90 miliar dari APBN, dengan masa kontrak singkat Januari hingga Februari 2024.
Kontrak senilai miliaran rupiah ini ternyata diumumkan melalui metode e-Purchasing pada 6 Januari 2025.
Lalu, kemana saja jet pribadi ini terbang? Salah satu perjalanan yang terungkap dalam sidang adalah penggunaan jet untuk terbang ke Bali dengan alasan monitoring logistik, sortir, dan lipat suara.
Tak berhenti di situ, jet pribadi tersebut juga pernah melayang ke Kuala Lumpur, Malaysia, dengan dalih mengecek masalah perhitungan suara di luar negeri. Yang tak kalah mengejutkan, jet mewah ini bahkan digunakan untuk acara yang sama sekali tidak mendesak, seperti pelaksanaan fit and proper test calon anggota KPU untuk Jawa Timur, Riau, dan Kalimantan Timur.

Fakta Mengejutkan: 59 Kali Terbang TANPA Distribusi Logistik
Frekuensi penggunaannya ternyata sangat sering! Anggota DKPP Ratna Dewi Pettalolo dengan tegas menyatakan bahwa penggunaan jet pribadi mewah bertipe Embraer Legacy 650 itu digunakan sebanyak 59 kali.
Yang lebih parah, SEMUA perjalanan itu dinilai melenceng dari alasan awal untuk distribusi logistik. Dari 59 kali penerbangan mewah itu, tidak satupun rutenya yang benar-benar bertujuan untuk distribusi logistik.
Kelima anggota KPU itu membela diri dengan beralasan menggunakan jet pribadi untuk memonitoring logistik ke beberapa daerah. Mereka juga berkilah bahwa jet tersebut dipakai untuk menghadiri bimbingan teknis, penguatan kapasitas kelembagaan, hingga penyerahan santunan untuk petugas.
Namun argumen mereka langsung dipatahkan oleh DKPP. Dari 59 kali perjalanan, sebagian besar tujuannya bukanlah daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar). Daerah-daerah yang dikunjungi justru memiliki penerbangan komersial dengan jadwal yang sangat memadai.
Fakta sidang ini secara telak membantah pernyataan resmi Ketua KPU Afifuddin.
Pembelaan KPU Runtuh di Hadapan Fakta
Pada Mei 2025, Afifuddin bersikeras bahwa penggunaan jet pribadi adalah sebuah keharusan. Dia berdalih, masa kampanye Pemilu 2024 yang hanya 75 hari—jauh lebih pendek dari Pemilu 2019—memaksa KPU bekerja super cepat.
Dia menyatakan bahwa penggunaan pesawat jet pribadi adalah pilihan paling tepat untuk mempercepat distribusi logistik. Menurutnya, mobilitas tinggi menjadi kunci, dan transportasi reguler tidak mampu memenuhi tuntutan kecepatan, terutama ke daerah terluar dan kota besar.
Afifuddin juga membantah kritik yang menyoroti ketiadaan penerbangan jet ke daerah 3T. Dia menjelaskan bahwa kendala justru sering muncul saat harus mengunjungi tiga provinsi berbeda dalam satu hari, yang mustahil dilakukan dengan pesawat komersial.
Dia menegaskan, konteksnya adalah kejar waktu dan efisiensi koordinasi nasional, bukan sekadar jarak geografis. Dengan tegas, dia menyatakan bahwa ini murni kebutuhan teknis, bukan gaya hidup.
Namun semua pembelaan yang terlihat masuk akal itu akhirnya runtuh di hadapan DKPP. Sidang membuktikan bahwa 59 kali penerbangan mewah itu sama sekali tidak berkorelasi dengan alasan percepatan distribusi logistik.
Pada akhirnya, DKPP menjatuhkan sanksi peringatan keras sebagai bentuk pertanggungjawaban moral dan hukum. Kisah ini menjadi pelajaran berharga bagi semua pejabat publik tentang pentingnya akuntabilitas dan transparansi dalam menggunakan uang rakyat. Uang Rp 90 miliar itu adalah dana publik yang harus dipertanggungjawabkan hingga tetes terakhir.
Dapatkan juga berita teknologi terbaru hanya di newtechclub.com