MALANG, Exposenews.id – Saat ini, penanganan hukum terhadap berbagai aksi kericuhan di sejumlah daerah sedang menjadi sorotan tajam. Pakar Hukum Pidana Universitas Brawijaya (UB), Prija Djatmika, secara tegas mengingatkan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) untuk sama sekali tidak melakukan tebang pilih dalam penegakan hukum, baik terhadap masyarakat sipil maupun terhadap anggotanya sendiri yang terbukti melanggar.
Kontras yang Mencolok: Cepat vs Lambat
Sebagai bukti nyata, kita semua melihat Polda Metro Jaya baru-baru ini bertindak sangat cepat dengan menetapkan enam tersangka penghasutan anak di bawah umur yang terkait aksi ricuh di Jakarta. Tidak hanya itu, pihak kepolisian juga telah menetapkan beberapa tersangka lain yang diduga terlibat dalam pelemparan bom molotov hingga pembakaran fasilitas umum.
Akan tetapi, di sisi lain, kita justru menyaksikan ketimpangan yang sangat mencolok. Pasalnya, penanganan terhadap tujuh anggota polisi yang melindas pengemudi ojek online (ojol), Affan Kurniawan, hingga tewas menggunakan kendaraan rantis masih berstatus sebatas ‘terduga pelanggar’. Selain itu, identitas aparat yang diduga menganiaya mahasiswa Universitas Amikom Yogyakarta, Rheza Sendy Pratama (21), hingga meninggal dunia saat kericuhan di depan Mapolda DIY juga masih diselimuti kabut ketidakjelasan.
Prosedur Awal: Sanksi Etik dan Administratif
Selanjutnya, Prija Djatmika memaparkan bahwa secara prosedur formal, memang terdapat perbedaan antara penanganan hukum terhadap aparat dan warga sipil. Menurutnya, anggota polisi atau militer yang melakukan pelanggaran wajib melalui proses etik atau administratif terlebih dahulu. “Polisi yang melindas ojol itu memang harus proses etik dulu. Misalnya pemecatan, itu merupakan sanksi administratif,” jelas Prija pada Rabu (3/9/2025).
Sanksi Administratif Bukan Akhir, Tuntutan Pidana WAJIB Dijalankan!
Meskipun demikian, ia dengan sangat jelas menegaskan bahwa sanksi administratif tersebut sama sekali tidak boleh menutup atau menggantikan proses pidana. Menurut analisisnya, tindakan melindas korban dengan kendaraan rantis setelah sempat berhenti adalah murni tindak pidana yang sangat serius. “Ketika dia nabrak, terus dia berhenti, kemudian dia melindas, itu murni tindak pidana pembunuhan Pasal 338 atau bahkan mungkin pembunuhan berencana Pasal 340 KUHP. Karena sudah ada jeda waktu antara perbuatan persiapan dan perbuatan pelaksanaan,” ungkapnya secara detail.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan keadilan yang sesungguhnya, Prija menekankan bahwa oknum yang memerintahkan dan yang mengemudikan kendaraan rantis tersebut harus dituntut secara pidana setelah sanksi administratif dijatuhkan. “Jadi kalau mau objektif, setelah tindak pidana, setelah sanksi administratif pemecatan ini, maka siapa yang memerintahkan dan yang mengemudi itu harus dipidana, dituntut pidana dengan 338 atau 340 KUHP, itu baru fair,” tegasnya.
Tiga Pilar Prinsip Hukum yang Wajib Dipenuhi
Selain itu, Prija juga menekankan bahwa seluruh proses hukum, baik untuk sipil maupun aparat, wajib memenuhi tiga prinsip utama. Prinsip-prinsip tersebut adalah transparan, akuntabel, dan admissibility (alat bukti dapat diterima secara hukum dan kredibel). “Saya harapkan proses administrasi dari anggota Brimob yang melindas Ojol Affan Kurniawan itu tidak berhenti pada pemecatan saja. Harus ada penuntutan pidana karena ini asas equality before the law, semua orang sama di depan hukum,” tuturnya dengan penuh keyakinan. “Jadi tidak adil, tidak fair kalau polisi yang melindas itu hanya selesai pada pelanggaran administratif,” tambahnya untuk memperkuat argumen.
Batu Ujian Integritas Polri di Mata Publik
Lebih jauh, Prija menyatakan bahwa kasus ini menjadi batu ujian berat bagi Polri untuk membuktikan integritasnya secara nyata. Janji Kapolri untuk membuka peluang proses hukum pidana bagi anggotanya yang bersalah kini ditunggu-tunggu realisasinya oleh seluruh lapisan masyarakat. “Tapi kan sudah ada jaminan dari Kapolri bahwa akan membuka peluang untuk proses hukumnya, tentu pidana, tuntutan pidananya tetap akan dijalankan,” katanya. “Masyarakat ini menunggu untuk membuktikan bahwa polisi memang sudah melancarkan proses hukum dengan prinsip semua orang sama di depan hukum, walaupun menyangkut anggotanya sendiri,” sambungnya.
Tuntutan untuk Tidak Ada Impunitas Bagi Aparat Pelaku Kekerasan
Tidak berhenti di situ, Prija juga menyoroti dengan sangat serius pentingnya mengusut tuntas setiap kasus kekerasan yang dilakukan oleh terduga oknum polisi terhadap para demonstran di berbagai daerah. Menurutnya, kita tidak boleh membiarkan impunitas atau kekebalan hukum bagi aparat yang terbukti melanggar prosedur penanganan huru-hara dan melakukan kekerasan. “Sementara masyarakat yang menciptakan kerusuhan ditangkap dan diproses hukum, anggota polisi yang terbukti melakukan kekerasan ya harus diproses hukum juga. Tidak ada kekebalan hukum bagi polisi yang melanggar,” tegasnya sekali lagi.
Kunci Pemulihan Kepercayaan Masyarakat
Pada akhirnya, Prija menyampaikan harapan besarnya bahwa penegakan hukum yang adil dan tanpa pandang bulu adalah kunci utama untuk memulihkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap kredibilitas dan integritas institusi Polri. “Jadi, masyarakat melihat bahwa kepolisian tidak tebang pilih dan tidak ada impunitas untuk anggotanya. Semua berlaku sama di depan hukum. Itu yang penting, sehingga kepercayaan masyarakat kepada integritas dan kredibilitas polisi kembali pulih,” pungkasnya menutup pernyataan.
Dapatkan juga berita teknologi terbaru hanya di newtechclub.com
