Bahas Peningkatan KDRT, Ini Tanggapan Rita Maya Dondokambey Tamuntuan

BKOW Sulut membahas persoalan KDRT di bumi nyiur melambai. Foto: Ronald Ginting.

Exposenews.id, Manado – Fenomena kekerasan terhadap perempuan dan anak akhir-akhir ini menjadi isu yang menonjol. Bukan hanya disebabkan makin beratnya kasus kekerasan perempuan, namun instensitasnya pun makin mengkhawatirkan.

Segala bentuk tindak kekerasan baik tindakan fisik, seksual, maupun emosional yang membuat perempuan menderita, termasuk di dalanya segala bentuk ancaman, intimidasi, dan pelanggaran hak atau kemerdekaan.

“Berdasarkan data Simfoni PPA, terlapor kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak pada 2019 mencapai 316 kasus. Didominasi kasus kekerasan seksual sebanyak 123 kasus, disusul kekerasan fisik sebanyak 106 kasus, kekerasan psikis sebanyak 40 kasus, penelataran 51 kasus dan trafficking 8 kasus,” kata Ketua Umum Badan Kerjasama Organisasi Wanita (BKOW) Provinsi Sulawesi Utara (Sulut), Rita Maya Dondokambey Tamuntuan melalui Kepala Dinas PPPA Daerah Sulut, Mieke Pangkong, di Ruang WOC Kantor Gubernur Sulut, kemarin.

“Kekerasan ini paling banyak terjadi pada kelompok usia 13-17 tahun, disusul kelompok usia 6-12 tahun, dan pada usia 25-44 tahun,” sambung Rita.

Sepanjang 2020 meningkat mencapai 383 kasus. Dan lagi-lagi didominasi kasus kekerasan seksual sebanyak 140 kasus, kekerasan fisik 132 kasus, kekerasan psikis 69 kasus, penelantaran 52 kasus, dan trafficking 18 kasus. Untuk usianya sama dengan data di 2019 yakni tertinggi di usia 13-17 tahun.

“Untuk kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sepanjang 2019 berjumlah 155 kasus. Di 2020 meningkat menjadi 183 kasus,” tambahnya.

KDRT, kata dia merupakan kekerasan berbasis gender yang terjadi di ranah personal. Kekerasan ini banyak terjadi dalam hubungan relasi personal, di mana pelaku adalah orang yang dikenal baik dan dekat oleh korban. Misalnya tindak kekerasan dilakukan suami terhadap istri, ayah terhadap anak, paman terhadap keponakan, kakek terhadap cucu.

“Sering juga muncul dalam hubungan pacaran atau dialami oleh orang yang bekerja membantu kerja rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut,” katanya.

KDRT merupakan kejadian merusak sendi-sendi utama ketahanan keluarga dengan korban terbanyak perempuan dan anak. Dampaknya juga akan terbawa dalam siklus kehidupan dan tumbuh kembang anak dalam rumah tangga.

“Meskipun sulit, pencegahan KDRT bisa dimulai dari keluarga itu sendiri,” imbuhnya.

Faktor dominan penyebab KDRT bersifat kolektif atau multy factors. Solusi yang diperlukan juga terdiri dari banyak faktor dan dan perlu melibatkan banyak pihak. Misalkan kesiapan dalam membangun rumah tangga, kedewasaan calon pengantin, kesiapan ekonomi, pengetahuan masing-masing pasangan, keluarga, lingkungan sosial, budaya, dan beberapa lainnya.

UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga merupakan jaminan yang diberikan negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Tujuannya dalam pasal 4 meliputi mencegah terjadinya segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga.

“Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera,” terangnya.

Menurutnya KDRT harus dicegah karena sangat berdampak terhadap anak dan keluarga. Melihat dampaknya, diperlukan peran masyarakat dalam pencegahan KDRT.

‘Masyarakat sebagai agen perubahan yang di dalamnya adalah tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, ormas, organisasi perempuan, dunia usaha dan media, dapat membantu pemerintah dengan melakukan penyelenggaraan sosialisasi, edukasi, dan kampanye kepada seluruh lapisan masyarakat.

(RTG)

 

Penulis: Ronald GintingEditor: Ronald Ginting