Tanpa PSBB, Pembatasan Orang di Sulut Langgar HAM

banner 120x600

Penulis : Vebry T Haryadi (Praktisi Hukum, Advokat)

Penyebaran virus corona di Indonesia, baik skala maupun jumlah orang terinfeksi, telah membuat pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat Indonesia terus waspada dan siaga. Kewaspadaan dan kesiapsiagaan menjadi hal penting agar pencegahan dan penanggulangan pandemi virus corona di Indonesia dapat dilakukan sebaik-baiknya.

Demikian pula bagi Provinsi Sulawesi Utara (Sulut), di mana warga yang terjangkit virus Corona terus bertambah dari hari ke hari. Saat ini, dari data pada 20 Juni 2020 positif Covid-19 di Sulut berjumlah 808 orang.

Berbagai upaya dilakukan pemerintah Provinsi Sulut, dan pemerintah kabupaten dan kota, yang acuannya pada Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 8 Tahun 2020 tentang Optimalisasi Pencegahan Penyebaran (OPP) COVID-19. Salah satu upaya adalah berdasarkan Pergub OPP Covid-19, kemudian kabupaten dan kota di Nyiur Melambai sebutan lain bagi Provinsi Sulut, ramai-ramai melakukan penjagaan pada pintu-pintu masuk di daerah masing-masing yang menjadi polemik.

Sebut saja Kota Manado, sebanyak 16 titik pintu masuk dijaga ketat petugas baik melibatkan Polisi Pamong Praja (Pol PP), Pegawai Dinas Kesehatan Pemerintah Kota, maupun pihak aparat kepolisian dan TNI yang tidak hanya melakukan pemeriksaan suhu tubuh, pakai masker dan jumlah penumpang pada kendaraan roda empat, namun harus menunjukan Surat Keterangan Perjalanan.

Hal yang serupa juga dilakukan Kota Bitung menjaga pintu-pintu masuk di Kota Cakalang tersebut dengan memeriksa Surat Keterangan Bebas (SKB) Covid-19 atau surat keterangan sehat, demikian bagi Kabupaten Minahasa, Kabupaten Minahasa Tenggara dan daerah lainnya yang memberlakukan aturan bagi pelaku perjalanan yang akan memasuki dengan wajib membawa surat keterangan kesehatan dari puskesmas setempat atau surat kewaspadaan.

Salah satu tujuan dengan adanya penerapan tersebut, menjadi harapan pemerintah daerah di Sulut yakni akan memutus rantai penyebaran Covid-19. Namun, pertanyaannya bisakah melakukan pembatasan orang, mewajibkan masyarakat dengan segala surat-surat tersebut dengan dasar Pergub OPP Covid-19 ?

Pemerintah pusat telah menegaskan bahwa bentuk upaya pencegahan penyebaran penyakit Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang telah ditetapkan sebagai pandemi global. Sehingga apa yang dikenal dengan karantina wilayah dan pembatasan sosial ditetapkan sebagai upaya membatasi penyebaran penyakit yang menimbulkan darurat kesehatan.

Dan hal itu menjadi kewenangan pemerintah pusat, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU 6/2018).

Status keadaan darurat tersebut perlu ditetapkan terlebih dahulu oleh pemerintah pusat, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UU 6/2018 tersebut. Sehingga Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) harus ada persetujuan dari pemerintah pusat dan tidak asal diterapkan bagi pemerintah daerah.

Perlu menjadi perhatian, yakni pernyataan Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan RI, Widyawati yang menyebutkan seharusnya tanpa izin PSBB, Pemda diminta berhati-hati dalam menanggulangi Covid-19. Yang bisa dilakukan paling maksimal hanya memberi anjuran umum. Pemerintah daerah kalau mau melakukan pembatasan aktivitas harus mendapat izin PSBB dahulu.

“Imbauan pemerintah pada umumnya dilakukan saja, seperti physical distancing, gunakan masker dan kalau bisa di rumah saja. Yang umum saja dulu,” tuturnya.

Tanpa PSBB, Pergub OPP Covid-19 seharusnya tidak menabrak aturan yang lebih tinggi yakni Undang-Undang serta peraturan perundang-undangan lainnya menyangkut pandemi Covid-19 yang telah dengan tegas adalah domain pemerintah pusat. Bagaimana dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam pembatasan orang yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota di Sulut yang mengacu hanya pada Pergub OPP Covid-19 ?

Tentu hal ini melanggar Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pada Pasal 73, yang menyatakan bahwa: “Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.”

Mengacu dari hal tersebut, tentu Pergub OPP Covid-19 tidak bisa menjadi dasar untuk membatasi orang, selain hanya imbauan umum saja, seperti pakai masker, pengukuran suhu tubuh, cuci tangan dan jaga jarak. Karena hak dan kebebasan orang itu hanya bisa dibatasi dengan Undang-Undang.

Kekarantinaan kesehatan harus menghormati hak asasi manusia dan dasar-dasar kebebasan seseorang. Hal tersebut jelas dinyatakan dalam Bagian Menimbang huruf c UU 6/2018 sebagai berikut : bahwa sebagai bagian dari masyarakat dunia, Indonesia berkomitmen melakukan upaya untuk mencegah terjadinya kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia sebagaimana yang diamanatkan dalam regulasi internasional di bidang kesehatan, dan dalam melaksanakan amanat ini Indonesia harus menghormati sepenuhnya martabat, hak asasi manusia, dasar-dasar kebebasan seseorang, dan penerapannya secara universal;

Selain itu, dalam Pasal 2 huruf f UU 6/2018 telah diuraikan bahwa kekarantinaan kesehatan harus diselenggarakan berdasarkan asas kepentingan umum.

Yang dimaksud dengan asas “kepentingan umum” adalah bahwa dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan harus mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi atau golongan tertentu. Adanya kekarantinaan kesehatan tentu akan membatasi pergerakan masyarakat.

Namun hal tersebut dilakukan guna menjamin kesehatan seluruh warga negara Indonesia agar tidak terinfeksi virus corona. Tetapi hal itu dilakukan dengan Undang-Undang dan menjadi domain pemerintah pusat.

Tegasnya, karantina wilayah dan pembatasan sosial berskala besar ditetapkan oleh menteri kesehatan (Pasal 49 ayat 2 dan ayat 3 UU Kekarantinaan Kesehatan). Bukannya, pemerintah daerah tanpa PSBB, kemudian membatasi warga dengan hanya berdasar aturan Perda yang menyalahi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU 12/2011”) sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. (RTG)