TEHERAN, Exposenews.id — Dunia sedang waspada! Konflik bersenjata antara Iran dan Israel berpotensi memicu langkah ekstrem: penutupan Selat Hormuz, jalur vital bagi pasokan energi global. Kekhawatiran ini kian nyata setelah Iran mempertimbangkan menutup selat tersebut sebagai balasan atas serangan AS ke tiga situs nuklirnya pada Sabtu (21/6/2025). Meski parlemen Iran mendukung langkah ini, keputusan final masih digodok Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran.
Di Mana Letak Selat Hormuz?
Selat Hormuz menghubungkan Teluk Persia dan Teluk Oman, dengan titik tersempit hanya selebar 21 mil (33 km). Meski terlihat luas, jalur pelayaran untuk kapal tanker raksasa sangat terbatas—hanya dua mil per arah—dan melintasi perairan teritorial Iran serta Oman.
Badan Informasi Energi AS (EIA) mencatat, sekitar 20 juta barel minyak—atau seperlima produksi harian dunia—melintasi selat ini setiap hari. Tak heran Selat Hormuz dijuluki “titik kritis” perdagangan energi global.
Harga Minyak Bisa Melonjak, Ekonomi Terancam
Bayangkan jika Selat Hormuz benar-benar ditutup! Harga minyak diprediksi meroket, otomatis memicu kenaikan harga barang lainnya. Alex Younger, mantan Kepala Intelijen Inggris (MI6), mengingatkan, “Penutupan selat ini akan jadi bencana ekonomi karena dampaknya pada harga minyak.”
Baru-baru ini, serangan AS ke Iran sudah membuat harga minyak Brent tembus $80 per barel—level tertinggi sejak Januari. Meski sempat turun, investor masih khawatir situasi bisa makin buruk. Rob Thummel dari Tortoise Capital memprediksi, “Gangguan di Selat Hormuz bisa mendorong harga minyak ke $100 per barel.”
Mohammad Ali Shabani, analis Iran, menegaskan bahwa kontrol geografis Iran atas selat ini bisa jadi senjata untuk menggoyang pasar minyak, memicu inflasi, dan mengacaukan agenda ekonomi Presiden Trump.
baca juga: Jadwal Pertandingan Timnas Indonesia di ASEAN U23 Championship 2025, simak lengkapnya!
Meski seluruh dunia khawatir, Asia bakal jadi korban utama. EIA mencatat, 84% minyak mentah dan 83% gas alam cair yang melintasi Selat Hormuz mengalir ke pasar Asia.
Arab Saudi, misalnya, mengekspor 6 juta barel minyak per hari melalui selat ini—lebih banyak daripada negara lain. China, sebagai importir terbesar minyak Iran, menerima 5,4 juta barel per hari pada kuartal pertama 2025. Sementara India dan Korea Selatan masing-masing mengimpor 2,1 juta dan 1,7 juta barel per hari. Bandingkan dengan AS dan Eropa yang hanya 400.000 dan 500.000 barel per hari.
China pun angkat bicara. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Guo Jiakun menekankan, “Stabilitas kawasan Teluk Persia adalah kepentingan bersama dunia.” Di sisi lain, Menteri Perminyakan India Hardeep Singh Puri berusaha menenangkan pasar dengan klaim bahwa negaranya sudah “mendiversifikasi pasokan energi dan tidak sepenuhnya bergantung pada Selat Hormuz.”
Benarkah Iran Berani Tutup Selat Hormuz?
Meski ancaman serius, banyak analis meragukan Iran akan benar-benar menutup selat ini. Vandana Hari, CEO Vanda Insights, menyebut langkah itu “risiko ekstrem yang kecil.” Alasannya, Iran terlalu banyak kehilangan. “Mereka tidak mungkin memusuhi negara penghasil minyak tetangga, apalagi mengancam hubungan dengan China, pasar utamanya,” jelasnya.
Kehadiran armada laut AS di kawasan juga jadi faktor pencegah kuat. “Iran tidak akan untung besar dari penutupan selat, malah berisiko kehilangan dukungan negara-netral yang selama ini bersimpati,” tambah Hari.
kunjungi Laman MPOSAKTI
Kendati peluang penutupan Selat Hormuz masih diperdebatkan, ketergantungan dunia pada jalur ini tak terbantahkan. Setiap ketegangan—apalagi yang melibatkan aksi militer—langsung mengguncang pasar energi dan memperbesar risiko krisis ekonomi.
Jadi, semua mata kini tertuju pada Iran: apakah mereka benar-benar berani mengambil langkah drastis, atau sekadar gertakan untuk meraih posisi tawar? Satu yang pasti, dunia harus bersiap untuk segala kemungkinan!