BAHLIL KABUR DARI MASSA! Menteri ESDM Hindari Demonstran Raja Ampat Lewat Pintu Belakang Bandara

SORONG, Exposenews.id – Ratusan warga adat dan aktivis lingkungan yang menolak tambang nikel di Raja Ampat sudah berjubel di Bandara DEO Sorong sejak subuh, menanti kedatangan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia. Tapi apa yang terjadi? Alih-alih menemui massa, sang menteri malah menyelinap keluar lewat pintu belakang!

Aksi kabur Bahlil Sabtu (7/6/2025) pagi itu langsung memicu amarah warga. Padahal sebelumnya, staf menteri sudah mengundang perwakilan demonstran untuk berdiskusi.

“BAHLIL PENIPU!” Teriak massa histeris ketika tahu mereka sudah dikibuli. Suasana yang awalnya tertib langsung berubah panas.

Pukul 07.02 WIT: Detik-detik memalukan itu terekam jelas. Bahlil buru-buru masuk ke mobil dinasnya melalui pintu belakang bandara, tanpa peduli ribuan warga yang sudah menunggu berjam-jam.

Uno Klawen, pemuda adat asal Raja Ampat, tak lagi bisa menahan amarahnya. Dengan suara lantang, ia mengecam ketidakadilan yang terjadi di tanah leluhurnya. “Mereka hanya fokus membahas PT Gag Nikel, seolah-olah itu satu-satunya masalah. Padahal, diam-diam tiga perusahaan lain masih terus menggunduli hutan dan merusak laut kami!” tegasnya, mata menyala-nyala.

“Pemerintah pura-pura buta!” bentak Uno dengan suara mengguntur, tangannya menuding tajam ke bukit yang kini tinggal tandus. “Lihatlah dengan mata kepalamu! Setiap hari puluhan truk mereka hilir-mudik mengangkut kekayaan kami yang mereka rampas! Sudah berbulan-bulan kami laporkan, tapi aparat hanya diam seribu bahasa!”

baca juga: Bahlil Mampir Cek Tambang Nikel di Raja Ampat Saat Kunjungi Sumur Minyak Papua

Tak berhenti di situ, pria berotot itu kemudian melukiskan nestapa warga adat yang kian terdesak. “Dulu, kami hidup damai. Laut dengan murah hati menghidupi kami dengan ikannya. Hutan dengan setia menyediakan buah dan obat. Kini? Perusahaan-perusahaan licik itu datang membawa janji palsu! Alih-alih sejahtera, kami malah terjepit di tanah sendiri!”

Sambil mengepal tangan, matanya berkaca-kaca mengingat perubahan drastis itu. “Mereka obral janji lapangan kerja, pembangunan fasilitas. Nyatanya? Kami jadi kuli di tanah leluhur sendiri! Anak-anak kami tak lagi bisa menikmati warisan nenek moyang!”

Di tengah emosinya, suara Uno tiba-tiba mengeras. “Tapi kami takkan menyerah! Selama masih ada nafas, kami akan pertahankan hak kami!” Pekikannya disambut gemuruh sorakan warga yang berdesakan di sekelilingnya.

Uno menyebut nama-nama perusahaan itu dengan nada geram:

  1. PT Kawei Sejahtera Mining

  2. PT Anugerah Surya Pratama

  3. PT Mulya Raymon Perkasa

“Ini pengkhianatan!” serunya. “Mereka merusak alam kami, menginjak-injak hak adat, semua demi kantong pejabat!”

Aksi yang digagas Koalisi Selamatkan Alam dan Manusia Papua ini membuktikan satu hal: rakyat Papua sudah muak dengan kebijakan pemerintah yang tebang pilih.

Massa Mengamuk: “Kami Bukan Tong Sampah!”

Demonstran datang dengan harapan besar. Mereka menyiapkan tuntutan, menyusun argumen, bahkan rela berpuas-puas di terik matahari. Tapi menteri mereka malah kabur seperti pencuri!

Seorang aktivis lingkungan yang enggan disebut namanya meledak: “Lihatlah! Mereka cuma pandai cuci tangan! Sementara kami terus jadi korban!”

Dunia mengenal Raja Ampat sebagai surga biodiversitas laut terindah. Namun di balik keindahannya, tambang-tambang nikel kini menggerogoti paru-paru alam itu perlahan-lahan.

“Kami tidak anti pembangunan,” tegas Uno dengan nada getir. “Tapi, jangan jadikan kami tumbal keserakahan!” tambahnya, suaranya menggelegar di antara deburan ombak yang seolah ikut protes.

Sejarah yang Terulang

Ini bukan kali pertama warga berdemo.

Sementara itu, para tetua adat mulai bergerak. Mereka menggelar rapat darurat, merancang strategi perlawanan berikutnya. “Kami akan gunakan segala cara. Mulai dari jalur hukum sampai aksi massa yang lebih besar,” tegas seorang tetua dengan suara berat.

Anak-anak muda pun tak mau ketinggalan. Mereka membentuk barisan, bersiap menjadi garda terdepan. “Ini bukan lagi soal izin tambang. Ini soal harga diri kami sebagai orang Papua!” teriak salah seorang pemuda, diikuti pekikan semangat dari yang lain.

Pemerintah mungkin masih diam. Tapi di Raja Ampat, gelora perlawanan justru semakin membara. Dan Uno Klawen beserta warga sudah menyatakan sikap: “Kami akan terus maju. Sampai keadilan benar-benar ditegakkan!”

“Ngapain janji dialog kalau akhirnya kabur?” hardik seorang ibu paruh baya sambil mengayun-ayunkan poster protes.

Tuntutan Jelas: Stop Tambang, Mulai Dialog!

Koalisi demonstran memberikan ultimatum:

  1. Tutup paksa semua tambang ilegal

  2. Audit menyeluruh kerusakan lingkungan

  3. Dialog terbuka dengan jaminan tindak lanjut

“Kami tidak akan berhenti sampai keadilan ditegakkan!” seru massa kompak.

Dengan semangat yang membara, warga Raja Ampat terus menunjukkan keteguhan hati mereka. “Kami bukan hanya berteriak, kami bergerak!” seru seorang pemuda sambil mengepalkan tangan. Aksi protes ini bukan lagi sekadar unjuk rasa, melainkan perlawanan yang telah menyala menjadi api perjuangan.

Tak hanya itu, dukungan dari berbagai elemen masyarakat terus mengalir. Aktivis lingkungan, akademisi, bahkan kelompok pemuda dari daerah lain mulai bersatu, membentuk barisan solid untuk mendukung perjuangan warga adat. “Ini bukan lagi masalah Raja Ampat saja, tapi soal keadilan untuk seluruh rakyat Indonesia!” tegas seorang aktivis dari Jakarta yang sengaja datang untuk memberikan dukungan.

Sementara itu, pemerintah tetap berdiam diri, seolah berharap aksi ini akan mereda dengan sendirinya. Namun, mereka salah besar. “Kami sudah lelah dengan janji-janji kosong. Sekarang, kami hanya percaya pada tindakan nyata!” tukas Uno Klawen dengan suara lantang.

Di sisi lain, warga semakin kreatif dalam menyuarakan protes. Mereka menggunakan seni, musik, bahkan media sosial untuk memperluas dukungan. “Kami akan terus berinovasi, karena perjuangan ini harus didengar oleh seluruh dunia!” ujar seorang seniman lokal yang membuat mural bertema perlawanan.

Pada akhirnya, satu hal yang pasti: perlawanan warga Raja Ampat tidak akan pernah padam.

“Kami takkan berhenti selama tanah kami masih dirampas! Kami takkan diam selama hak kami masih diinjak-injak!” pekik sang tetua adat dengan suara menggelegar. Seketika, sorak-sorai penuh keyakinan meledak dari kerumunan warga yang berkumpul.

Sementara itu, para perempuan adat tak mau ketinggalan. Mereka berbaris rapi sambil memukul tifa, iramanya semakin menggelora. “Kami ibu-ibu juga punya nyali! Kami akan menjaga tanah ini untuk anak cucu kami!” seru seorang ibu sambil mengepal tangan.

Di sisi lain, anak-anak muda mulai menyebarkan aksi ini melalui media sosial. Dengan cepat, video perlawanan mereka viral, menarik perhatian aktivis di seluruh Indonesia. “Kami tak sendiri! Seluruh Indonesia sekarang tahu perjuangan kami!” ujar seorang mahasiswa sambil menunjukkan layar ponselnya.

Yang lebih menggugah lagi, para tetua adat sudah mulai merancang langkah berikutnya. “Besok kami akan ke Jakarta! Kami akan temui langsung mereka yang berwenang!” tegas tetua adat itu, diikuti pekikan setuju dari seluruh warga.

Pada akhirnya, satu hal yang pasti: semangat mereka takkan pernah padam. “Api perjuangan ini akan terus menyala, dari generasi ke generasi!” pekik tetua adat itu, mengakhiri pidatonya dengan pekikan semangat yang menggema ke seluruh penjuru Raja Ampat.

Tak hanya berhenti di situ, para pemuda langsung membentuk barisan depan. Mereka mengangkat bendera merah-hitam tinggi-tinggi, sambil meneriakkan yel-yel perlawanan. “Lihatlah kekuatan kami! Dengarlah suara kami!” teriak seorang pemuda dengan mata berapi-api.

Dengan tekad yang membaja dan semangat yang tak pernah surut, perjuangan mereka menjadi bukti nyata bahwa rakyat kecil pun bisa menggebrak ketidakadilan. “Ini baru awal. Pertarungan sesungguhnya masih panjang!” seru Uno, menutup orasinya dengan pekikan semangat yang mengguncang hati siapa pun yang mendengarnya.

Exit mobile version