Oleh: Ronald Ginting
Exposenews.id, Manado – Pandemi COVID-19 berdampak signifikan terhadap penurunan kinerja perekonomian Sulut. COVID-19 yang mulai terjangkit di Indonesia pada bulan Maret 2020, memaksa pemerintah melaksanakan langkah pembatasan aktivitas sosial masyarakat untuk menanggulangi penyebaran.
Pembatasan aktivitas sosial telah menurunkan mobilitas masyarakat di Sulut termasuk pada bulan Mei secara historis merupakan periode permintaan tinggi berkenaan dengan perayaan Idul Fitri. Dampaknya terlihat pada triwulan II 2020, ketika realisasi konsumsi rumah tangga yang merupakan penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi Sulut terkontraksi dalam.
“Meskipun tren aktivitas sosial terus meningkat hingga triwulan IV, namun masih belum bisa menyamai level sebelum masa pra-COVID-19 dan akibatnya permintaan swasta cenderung melemah. Penurunan permintaan juga berdampak pada berkurangnya potensi penerimaan daerah dan tertundanya berbagai program daerah,” kata Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Utara Arbonas Hutabarat saat menyampaikan sambutan dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia 2020.
Akibatnya, tambah Arbonas, konsumsi pemerintah cenderung melambat. Selanjutnya, investasi yang bersumber dari pemerintah dan swasta juga cenderung tertahan karena adanya realokasi anggaran untuk penanganan pandemi dan masih tingginya ketidakpastian ekonomi.
“Dari sisi lapangan usaha, pembatasan aktivitas sosial menekan kinerja tiga dari lima lapangan usaha utama Sulut yaitu lapangan usaha transportasi, perdagangan, dan konstruksi. Frekuensi penerbangan domestik turun hingga -41,13% (yoy) selama periode Januari-November 2020. Bahkan penerbangan internasional ditutup secara menyeluruh sejak Maret 2020 sebelum akhirnya dibuka terbatas sejak akhir Juni 2020,” jelas Arbonas.
Fenomena yang sama juga terjadi pada transportasi laut dan darat. Lapangan usaha perdagangan juga mengalami kontraksi bersamaan dengan turunnya konsumsi rumah tangga dan pemerintah. Sementara, kinerja konstruksi juga ikut terdampak penurunan investasi.
Namun, tambah dia, tren membaiknya harga komoditas CNO sepanjang tahun ini menjadi faktor positif bagi perekonomian Sulut, mengingat posisi CNO sebagai penyumbang terbesar ekspor Sulut. Harga CNO secara rata-rata mengalami kenaikan sebesar 33% (yoy) sampai dengan September, sehingga dapat mengangkat kinerja industri pengolahan Sulut.
“Tren kenaikan harga CNO turut mendorong perbaikan harga kopra di tingkat petani sehingga berdampak pada membaiknya kinerja lapangan usaha pertanian,” katanya lagi.
Dia berharap pandemi COVID-19 di 2021 akan lebih terkendali tidak saja di Sulut namun juga secara nasional dan negara lainnya. Terkendalinya penyebaran pandemi akan mempercepat pemulihan aktivitas sosial ekonomi masyarakat, dan juga dapat mendorong realisasi berbagai program pemerintah yang dibiayai APBN dan APBD yang pada akhirnya mendorong pulihnya permintaan domestik.
“Kami perkirakan membaiknya pertumbuhan ekonomi dunia pada 2021 mendorong optimisme berlanjutnya tren positif kenaikan harga komoditas dunia termasuk harga CNO. Kondisi-kondisi yang disebutkan tadi diperkirakan dapat mendorong pemulihan ekonomi Sulut pada 2021 baik dari sisi pengeluaran maupun dari sisi lapangan usaha,” ungkapnya.
Dengan berbagai perkembangan yang terjadi saat ini, BI Sulut memperkirakan pertumbuhan ekonomi (PE) Sulut akan melambat pada tahun 2020 yaitu akan berada pada kisaran -0,7% sampai dengan 0,3% (yoy) dan berangsur pulih pada kisaran 4,0-5,0% (yoy) pada tahun 2021.
(RTG)