BENGKULU, Exposenews.id – warga Pulau Enggano, Bengkulu, dengan nada getir. Selama empat bulan terakhir, hasil panen pisangnya hanya menumpuk dan membusuk di kebun karena tak ada kapal yang mau mengangkutnya ke luar pulau.
Krisis Transportasi Lumpuhkan Ekonomi Warga
Masalah ini bermula dari krisis transportasi di Pelabuhan Pulau Baai, Bengkulu. Ratusan tandan pisang milik Iwan kini hanya menjadi tumpukan sampah di ladang. Padahal, pisang adalah satu-satunya sumber penghasilannya untuk menghidupi istri dan ketiga anaknya. Tanpa kapal pengangkut, penghasilannya pun langsung “nihil”.
*”Biaya kuliah dan sekolah anak-anak di Kota Bengkulu sekarang macet total. Biasanya saya bisa mengirim Rp 300.000 setiap dua minggu, tapi sekarang? Nol besar. Anak saya sudah mulai protes, tapi saya cuma bisa bilang, ‘Sabarlah, pisang kita belum laku. Bapak dan Ibu belum punya uang’,”* ungkap Iwan dalam rilis yang dikirim Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu.
baca juga: Jadwal Pertandingan Timnas Indonesia di ASEAN U23 Championship 2025, simak lengkapnya!
Sejak kapal ferry Pulo Tello berhenti beroperasi, hanya ada beberapa kapal milik tengkulak pisang dari Kota Bengkulu yang sesekali datang. Namun, harga yang mereka tawarkan sangat murah—hanya Rp 20.000 per tandan, jauh di bawah harga normal Rp 55.000. Akibatnya, Iwan dan ratusan petani lainnya memilih membiarkan pisang mereka membusuk daripada dijual dengan harga “gak masuk akal”.
Untuk bertahan hidup, Iwan kini bekerja serabutan—mulai dari jadi kuli proyek jalan desa hingga melaut. “Mungkin bagi orang lain pisang cuma buah biasa, tapi bagi kami, inilah nyawa kami. Empat bulan tanpa kapal pengangkut, semua kebutuhan mendesak jadi terbengkalai,” keluhnya.
baca juga: TRUMP BONGKAR RAHASIA! AS TAK KUASA HENTIKAN SERANGAN ISRAEL KE IRAN, INI KATA DUNIA
Bukan hanya ekonomi yang hancur, pendidikan anak-anak pun terancam. Banyak orang tua tak lagi bisa mengirim uang untuk anak mereka yang sekolah di luar pulau. “Kami cuma bisa bilang, ‘Hematlah uang kalian, karena kami tak tahu kapan situasi akan membaik’,” ujar Iwan dengan suara lirih.
Masalah kesehatan juga jadi mimpi buruk.
Ketika pasien kritis harus dirujuk ke luar pulau, pesawat selalu penuh! Sementara itu, kapal laut terpaksa berlabuh jauh dari pantai—memperparah kondisi darurat.
Belum lama ini, seorang warga bahkan sempat tak sadarkan diri selama delapan jam! Tim evakuasi akhirnya membawanya menggunakan kapal laut dalam perjalanan berisiko selama 12 jam. Bayangkan—pasien kritis harus bertahan di tengah guncangan ombak tanpa fasilitas medis memadai!
Sekitar 4.000 warga Enggano kini terperangkap dalam krisis multidimensi: ekonomi ambruk, akses kesehatan terbatas, dan pendidikan anak-anak terancam. Mereka hanya berharap Pelabuhan Pulau Baai segera beroperasi normal.
“Pengabaian pemerintah terhadap nasib warga Enggano adalah tindakan yang tak bisa dimaafkan. Kalau saja Enggano punya tambang emas atau nikel, mungkin masalah ini sudah lama diselesaikan,” tegas Fahmi Arisandi, Ketua AMAN Bengkulu, dengan nada kesal.
Krisis ini sebenarnya sudah berlangsung delapan bulan, sejak Pelabuhan Pulau Baai mengalami pendangkalan parah. Kapal-kapal besar tak bisa sandar di dermaga, sehingga penumpang harus turun di tengah laut dan diangkut dengan kapal kecil. Situasi ini membuat pengiriman hasil bumi terhambat total, sementara warga terus terisolasi tanpa solusi.
kunjungi laman seru MPOSAKTI
Dengan kondisi yang semakin parah, warga Enggano mempertanyakan: Kapan pemerintah akhirnya bergerak? Apakah mereka harus menunggu hingga ada korban jiwa baru diperhatikan? Atau jangan-jangan, pemerintah memang sengaja memalingkan muka karena Enggano “hanya menghasilkan pisang, bukan mineral berharga”?
Satu hal yang pasti: setiap detik penundaan berarti penderitaan yang lebih panjang bagi ribuan warga Enggano.