Mahalnya Barito Dorong Peningkatan Inflasi Manado dan Kotamobagu

ilustrasi bawang merah
banner 120x600

Exposenews.id, Manado – Kota Manado dan Kota Kotamobagu mengalami inflasi sebesar 0,85 persen dan 1,47 persen sepanjang Juni 2022. Angka ini lebih tinggi dibanding inflasi Mei 2022.

Secara tahunan, inflasi Kota Manado tercatat sebesar 3,49% (yoy), dan Kota Kotamobagu sebesar 4,39% (yoy), berada sedikit di atas rentang sasaran inflasi nasional yang sebesar 3±1% (yoy). Sementara secara nasional, Indonesia juga tercatat inflasi sebesar 0,61% (mtm) dan 4,35% (yoy).

“Hal tersebut menandakan bahwa secara umum inflasi tinggi tidak hanya terjadi di Sulawesi Utara, namun juga merupakan fenomena nasional. Oleh sebab itu, sinergi TPIP dan TPID baik inter-provinsi ataupun intra-Sulut menjadi penting untuk diperkuat sehingga kestabilan harga nasional dapat terwujud,” kata Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Sulawesi Utara, Arbonas Hutabarat, Jumat (1/7/2022).

Di Kota Manado, Kelompok Makanan, Minuman, dan Tembakau serta Kelompok Transportasi masih menjadi faktor utama inflasi dengan andil inflasi 0,80% dari inflasi umum Kota Manado. Dari kelompok tersebut, inflasi didorong oleh komoditas barito (bawang, rica/cabai, tomat) yakni bawang merah dengan andil 0,23% (mtm), cabai rawit/rica dengan andil 0,43% (mtm), dan tomat dengan andil 0,03% (mtm).

“Peningkatan harga bawang merah dan cabai rawit terjadi secara nasional akibat minimnya pasokan/supply shock karena faktor cuaca yang menyebabkan gagal panen di berbagai sentra produksi di Indonesia. Sulut yang tercatat defisit komoditas tersebut umumnya mendapatkan pasokan dari Enrekang dan Bima untuk bawang merah sebanyak 36 ton/hari, dan pasokan dari Jawa Timur, Gorontalo, dan Sulawesi Tengah untuk komoditas cabai rawit sebanyak 6-8 ton/hari di Pasar Bersehati Manado,” ungkap Arbonas.

Permasalahan gagal panen di sentra-sentra pemasok tersebut menyebabkan pasokan yang masuk ke Sulut hanya sekitar 12 ton/hari untuk bawang merah dan 3-4 ton/hari untuk cabai rawit. Sementara untuk komoditas tomat, meski tercatat surplus di Sulawesi Utara, namun tingginya harga di sekitar Sulut menyebabkan petani cenderung mengirimkan/menjual komoditas tersebut ke luar Sulut, sehingga, pasokan masuk sebesar 8-14 ton/hari tidak dapat memenuhi kebutuhan tomat yang rata-rata sebesar 22-24 ton/hari.

“Di samping permasalahan cuaca, masalah tingginya harga pupuk juga menjadi faktor berkurangnya pasokan komoditas strategis barito yang mendorong peningkatan harga sepanjang Juni 2022. Di sisi lain, komoditas ikan selar, ikan kembung, bawang putih, minyak goreng, dan cakalang diawetkan menjadi kontributor deflasi dan menahan peningkatan inflasi Sulut lebih tinggi,” Arbonas menambahkan.

Arbonas bilang kelompok transportasi menjadi satu-satunya kelompok penahan inflasi dengan andil deflasi sebesar -0,03% (mtm) yang disumbangkan oleh komoditas angkutan udara. Normalisasi mobilisasi masyarakat pasca HBKN Idul Fitri menjadi faktor menurunnya permintaan dan harga komoditas tersebut.

Fenomena serupa dialami Kota Kotamobagu. Di mana Kelompok Makanan, Minuman, dan Tembakau di Kotamobagu juga menjadi pendorong utama inflasi dengan andil 1,33% (mtm).

“Sama halnya dengan Manado, komoditas cabai rawit, bawang merah, dan tomat menjadi pendorong inflasi dengan andil masing-masing 0,43% (mtm), 0,38% (mtm), dan 0,11% (mtm) di samping komoditas daun bawang dengan andil inflasi 0,29% (mtm),” sebutnya lagi.

Peningkatan harga cabai rawit juga disebabkan oleh terbatasnya pasokan dari Gorontalo dan pasokan lokal dari Kabupaten Bolaang Mongondow Utara. Sementara itu, komoditas perikanan seperti ikan cakalang, ikan tongkol, dan ikan malalugis tercatat deflasi.

“Kelompok Perawatan Pribadi dan Jasa Lainnya di Kotamobagu menjadi penahan tekanan inflasi lebih tinggi dengan andil deflasi sebesar -0,02% (mtm),” tukas Arbonas.

(RTG)